Saturday, August 30, 2014

(jangan sampai) Terlambat Meralat Kata

Kita bebas berkata-kata
Kita bebas mengungkapkan rasa dan ekspresi
Mengatakannya kepada kawan
Menuliskannya pada akun jejaring sosial
Atau pun lewat sebuah karya seni
Baik sastra, lukis, musik, tari, dan teatrikal
Bebas. Bebas.
Kita memiliki hak untuk itu
Hak untuk menyuarakan ekspresi
Hak untuk berkarya
Namun, kadang kita lupa
Kita lupa kalau setiap orang punya hak
Dan seiring dengan itu, kita memiliki kewajiban
Kewajiban untuk menghormati hak orang lain
Selain itu kita juga mengenal etika
Etika perlu dikedepankan, bukan malah dikesampingkan
Etika untuk menghargai perasaan orang lain
Etika untuk menjaga privasi orang lain
Etika untuk menghargai perbedaan yang ada
Etika dalam berbicara
Etika menulis
Dan juga etika bermedia
Termasuk di dalamnya, etika bermedia sosial

Ironis mendengar pemberitaan di media tentang pelanggaran etika oleh seorang dengan pendidikan tinggi. Seorang yang mengekspresikan keluhan di media sosial dengan kalimat yang menyinggung banyak pihak. Secara otomatis, publik akan melihat latar belakang pendidikan. Publik menghujat, menghakimi, dan memberikan sanksi moral kepada yang bersangkutan melalui media sosial. Bahkan ada pula yang menghujat dengan umpatan dan ekspresi emosional. Beberapa barangkali akan bertanya keheranan, bagaimana bisa?! Bukankah pendidikan mengajarkan anak didiknya untuk mengedepankan etika dalam bertindak dan bertutur kata?! Adakah yang salah dengan dirinya? Atau barangkali ada yang salah dengan dunia pendidikan kita? Pada akhirnya, banyak pihak menyoroti fenomena ini dan memberikan analisis sesuai dengan perspektif masing-masing. Beberapa menyoroti pribadi yang bersangkutan, yang lainnya menyoroti dunia pendidikan negeri ini. Menarik melihat perspektif pendidikan karakter dari fenomena ini. Suatu fenomena yang tidak hanya terjadi satu kali dan pada satu orang saja. Di luar sana tentu masih ada kasus serupa yang hanya saja  tidak terekspose media. Apakah ini menunjukkan krisis moral anak bangsa?
Saya hanyalah pembelajar yang belum mampu menganalisis kasus seperti ini. Namun, adanya kasus ini mengingatkan saya dan semakin memperkuat keyakinan saya akan satu hal bahwa sekolah bukan hanya untuk nilai, tetapi sekolah untuk hidup. Dengan demikian, proses akademik sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi tidak hanya menjadi sarana untuk mencari angka (nilai), tetapi menjadi proses belajar untuk hidup. Belajar untuk semakin menjadi pribadi yang berkarakter, pribadi yang penuh toleransi, dan tentu saja mengedepankan etika dalam tindak dan tutur kata sehingga bermanfaat bagi alam dan sesama. Semoga saja, pendidikan di negeri ini dapat memfasilitasi anak bangsa dalam  belajar untuk hidup, bukan sekedar untuk nilai.

Menjaga tutur kata, dan jangan sampai kita terlambat meralat kata. Kelalaian sedikit saja, efeknya dapat merusak citra. Seperti pepatah berkata “gara-gara nila setithik, rusak susu sebelanga”


No comments: