-sebuah fiksi-
Suatu senja di sudut kota, aku duduk
diantara meja.
Di sebuah kedai sederhana yang
menjajakan aneka minuman khas nusantara lengkap dengan desain tempat yang memanjakan
mata.
Sehabis menikmati perjalanan panjang,
duduk sebentar sekedar melepas lelah.
Mata menyapu sekitar, menemukan pelayan
mondar-mandir membawa pesanan pelanggan.
Banyak orang berlalu lalang.
Beberapa membawa pasangannya dan
yang lain bersama teman-temannya dan hanya aku yang sendiri mengamati mereka.
Belum sempat kutemukan jawabnya.
“Pyarrr…”.
Seorang pelayan perempuan menjatuhkan satu nampan bawaanya. Berjarak satu meter di depan mataku. Memecah lamunanku. Aku lihat jelas gelas yang melayang, aliran air soda yang tumpah, dari atas ke bawah hingga menyentuh lantai. Pecahan beling berserakan, dan seketika semua mata tertuju pada titik itu. Titik di mana pelayan perempuan itu bermimik panik dan ketakutan. Dunia tidak berakhir karena kecerobohannya, tetapi rautnya jelas menunjukkan ketakutan luar biasa. Tangannya gemeteran sambil membersihkan pecahan gelas. Dari belakang dua pelayan lain menghampiri dan membantunya, walaupun itu tak mengurangi kepanikan dari raut wajahnya. Barangkali dia karyawan baru di kedai ini. Tatapan mata para pelanggan seolah menghakimi, menurunkan reputasinya.
Di luar sana, terdengar rintik hujan jatuh di atap kedai yang berbahan asbes. Kedengarannya cukup deras.
Malam, lampu remang, keramaian, dan
hujan.
Komposisi yang tepat untuk meneguk kopi hangat
yang telah tersaji.
Kuhela napas dan meneguk secangkir
kopi di hadapannku.
Bau kopi khas membawa mataku pada
sudut lain di kedai itu.
Di dekat kasir terlihat alat-alat
musik yang sedang ditata. Sepertinya itu para pemain live music di kedai ini.
Keyboard, gitar, bass, dan satu orang membawa microphone.
Sesaat kemudian terdengar lantunan
lagu “sempurna” Andra n the blackbone, menghangatkan suasana. Kegentingan
tragedi gelas jatuh seolah tak pernah ada , hujan di luar sana pun tak terasa,
alunan musik mengubah suasana. Sempurna! Aku pun berdiri menghampiri kasir,
kembali berjalan dengan atmosfer baru. Di bawah rintik hujan, lalu lintas kota,
dan sorot lampu beserta bayangannya.
Ini bukan tentang aku dan kedai
kopi.
Kira-kira begitulah kehidupan dalam
versiku.
Seperti seorang petualang yang
menikmati perjalanan.
Setiap langkah adalah pelajaran.
Setiap moment adalah inspirasi.
Tiap imaji adalah mimpi.
Dan tiap jumpa dengan seorang yang
lain adalah pengalaman berharga.
Mengamati sekeliling dengan rasa
penasaran, penuh prasangka, dan mencoba menerka. Hingga akhirnya menemukan satu
hal baru.
Lalu kembali melangkah untuk mencari
hal baru lainnya.
Bersama dengan suasana, kondisi,
situasi, dan prasangka baru. Melangkah hanya melangkah dan terus melangkah.
Satu waktu akan muncul kata mengapa dan satu
waktu yang lain seolah menemukan jawabnya.
Karena langkah-langkah ini bagaikan
mengapa yang senantiasa menuntut jawabnya.
Di sela tanya, hati pun mencari hasratnya.
Sesuatu yang menjadikan langkah semakin mantap
saja.
Mencari, mencari, dan terus mencari
sampai hasrat terdalam itu menjadi nyata.
No comments:
Post a Comment