Kekeluargaan
dan gotong royong, sebuah slogan dan semangat yang barangkali sudah
diperdengarkan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dua sikap yang dianggap
menjadi karakter khas masyarakat
Indonesia. Bahkan dalam soal ujian di sekolah dasar (SD) seringkali keluar
pertanyaan yang kira-kira demikian,
“sikap yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia adalah....”. Dan
dengan mudah para siswa akan menjawab kekeluargaan dan gotong royong. Entah
siapa orang pertama yang merumuskan kedua kata itu sehingga memiliki kekuatan
yang hebat. Ketika belajar tentang kekeluargaan dan gotong royong serasa bumi
Indonesia dilingkupi kenyamanan, senyuman, dan keramahtamahan. Barangkali
memang demikian kehidupan nenek moyang kita sejak dulu hingga tercetus semangat
itu. Dalam benak, kehidupan gotong royong identik dengan sikap saling membantu
satu sama lain dan kekeluargaan identik dengan sikap yang senantiasa
mengedepankan toleransi. Masih hangat dalam ingatan, pelajaran kewarganegaraan
yang banyak membahas kedua hal tersebut.
Bapak/Ibu
guru ataupun buku-buku pelajaran selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat
yang penuh dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Pembangunan jembatan
atau gapura dilaksanakan secara gotong royong. Kerja bakti dilakukan dengan
cara gotong royong. Apabila ada teman atau tetangga yang sakit sebaiknya kita
menjenguk. Ketika teman lain sedang beribadah kita seharusnya menghormati. Dan kegiatan
belajar mengajar di sekolah masih banyak lagi menanamkan pernyataan-pernyataan
lainnya tentang konsep kekeluargaan dan gotong royong kepada para siswanya.
Harapannya, sejak usia dini anak-anak sudah berkenalan dengan semangat-semangat
luhur bangsa Indonesia sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari baik mulai saat ini hingga kelak nanti mereka merasakan hidup
bermasyarakat. Alangkah lebih baik apabila semangat gotong royong dan
kekeluargaan tidak hanya menjadi teori dan pertanyaan dalam ujian sekolah.
Anak-anak tentu akan lebih memahami suatu konsep yang telah diajarkan ketika
mereka dapat melihat aplikasi konsep tersebut dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Pertanyaannya, apakah semangat itu masih tercermin dalam
masyarakat Indonesia sehingga anak-anak dapat menyaksikan praktek konsep kekeluargaan
dan gotong royong di lingkungan sekitar mereka tinggal?
Di
tengah-tengah megahnya gedung-gedung perkantoran, mall, dan juga menjamurnya
perumahan di kota-kota masih adakah yang bergotong royong untuk kerja bakti
membangun jembatan, gapura, atau sekedar menghias lingkungan satu wilayah
(Rukun Tetangga) RT, Rukun Warga) RW, atau kelurahan dalam rangka memeringati
HUT RI. Di dalam perumahan ukuran besar dengan pagar yang tinggi dan juga
tembok yang tebal, tahukah si empunya rumah ketika tetangganya menderita sakit
atau masihkah mereka berbagi oleh-oleh walau sedikit sebagai tanda
kekeluargaan. Barangkali setiap kita memiliki jawaban yang berbeda-beda. Sayang
sekali apabila anak-anak tidak sempat melihat praktek semangat kekeluargaan dan
gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Sebagai seorang anak
yang kebetulan lahir dan besar di lingkungan kota, nampaknya semangat itu
semakin samar. Dalam kehidupan masyarakat kota, sepertinya praktek semangat
kekeluargaan dan gotong royong sudah mulai memudar atau mengalami pergeseran
makna. Gotong royong tidak lagi saling membantu memperbaiki jalan atau gapura,
tetapi bekerja sama mengumpulkan dana untuk membayar tukang. Sikap kekeluargaan
berganti dengan sikap individualis yang barangkali dianggap lebih praktis di
tengan tuntutan sosial seperti sekarang ini. Namun, di tengah-tengah krisis
semangat gotong royong dan kekeluargaan di masyarakat perkotaan, masih ada
titik-titik tempat di tanah air kita yang masih melestarikan semangat itu,
yaitu di pedesaan.
Setidaknya
kegiatan KKN-PPM yang pernah saya laksanakan mengobati kerinduan saya akan
suasana kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana diajarkan di bangku
sekolah dulu. Desa Segorogunung yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah kembali mengajarkan tentang semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Kondisi geografis yang jelas berbeda dengan tempat di mana saya tinggal. Jalan
berkelok-kelok, berbatu, dan juga di pinggir jurang terjal hampir menjadi
pemandangan sehari-hari. Hamparan ladang sayuran luas memanjakan mata setiap
hari. Rumah-rumah sederhana yang terbuat dari tembok biasa bahkan berdinding
kayu dan beralaskan tanah masih banyak dijumpai di wilayah desa yang terletak
di bawah kaki Gunung Lawu itu. Selain kondisi fisik alam di sana, kehidupan
warga tidak kalah menarik untuk menjadi pusat perhatian. Kehidupan
bermasyarakat yang berbeda dengan masyarakat kota. Semangat kekeluargaan dan
gotong royong masih dijunjung tinggi. Buktinya?
Mereka
tidak hanya bergotong royong membangun jalan, gapura, tetapi juga membangun
rumah tetangga. Bagi mereka, sudah menjadi kebiasaan untuk membantu tetanga
yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Tidak ada tukang bayaran karna
yang ada hanyalah gotong royong dari para warga sekitar. Selain itu, kerja
bakti rutin diadakan minimal seminggu sekali baik oleh bapak-bapak ataupun
ibu-ibu. Walaupun harus bangun pagi-pagi mereka lakoni sebagai ujud rasa
kekeluargaan. Kerja bakti menjadi wadah bagi mereka untuk saling mengenal,
berbagi, dan bersosialisasi. Satu orang bercerita dan yang lain mendengarkan,
demikian situasinya. Pertemuan rutin seperti arisan ataupun sarasehan menjadi
rutinitas setiap bulan. Berbagai kegiatan dibahas dalam pertemuan rutin baik
terkait dana sosial untuk mereka yang sakit atau berduka, agenda menengok,
ataupun merencanakan kepanitiaan bagi tetangga yang akan mengadakan hajatan. Bahkan untuk suatu acara
pernikahan seorang warga sampai mengerahkan hampir warga satu dusun untuk
menjadi panitia. Mulai dari bagian mempersiapkan konsumsi, MC, sampai dekorasi.
Mereka meluangkan waktu untuk membantu tetangga mereka, dan semua berlandaskan
pada keikhlasan. Hal-hal sederhana yang barangkali sudah jarang atau hampir
tidak kita jumpai di masyarakat kota.
Indonesia
terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai karakter masyarakatnya
yang berbeda. Semangat gotong royong dan kekeluargaan yang lebih tercermin
dalam masyarakat desa menjadi tolak ukur yang membedakan budaya masyarakat di
kota maupun desa. Namun, perbedaan kehidupan di desa dan di kota bukan berarti
menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Desa dan kota bukan masalah
peradaban yang lebih baik atau sebaliknya. Inilah potret kehidupan masyarakat
di Indonesia. Baik masyarakat kota maupun desa memiliki pandangan yang berbeda
terhadap semangat kekeluargaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas
bangsa Indonesia. Alangkah indahnya apabila dapat melihat perbedaan budaya yang
ada. Anak-anak di kota yang sedang belajar tentang semangat kekeluargaan dan
gotong royong dapat diajak untuk bermain ke desa. Di desa mereka dapat
merasakan indahnya hidup dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Desa
dan kota memiliki kehidupan yang berbeda dengan kebijakan yang berbeda.
Kelebihan dan kelemahan menyertai keduanya. Penerapan semangat kekeluargaan dan
gotong royong baik desa maupun di kota menjadi saksi tumbuhnya kebudayaan yang
berbeda dalam negara kita. sekali lagi inilah Indonesia.
No comments:
Post a Comment