Wednesday, August 13, 2014

Potret Masyarakat Indonesia


Kekeluargaan dan gotong royong, sebuah slogan dan semangat yang barangkali sudah diperdengarkan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dua sikap yang dianggap menjadi karakter  khas masyarakat Indonesia. Bahkan dalam soal ujian di sekolah dasar (SD) seringkali keluar pertanyaan yang kira-kira demikian,  “sikap yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia adalah....”. Dan dengan mudah para siswa akan menjawab kekeluargaan dan gotong royong. Entah siapa orang pertama yang merumuskan kedua kata itu sehingga memiliki kekuatan yang hebat. Ketika belajar tentang kekeluargaan dan gotong royong serasa bumi Indonesia dilingkupi kenyamanan, senyuman, dan keramahtamahan. Barangkali memang demikian kehidupan nenek moyang kita sejak dulu hingga tercetus semangat itu. Dalam benak, kehidupan gotong royong identik dengan sikap saling membantu satu sama lain dan kekeluargaan identik dengan sikap yang senantiasa mengedepankan toleransi. Masih hangat dalam ingatan, pelajaran kewarganegaraan yang banyak membahas kedua hal tersebut.

Bapak/Ibu guru ataupun buku-buku pelajaran selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Pembangunan jembatan atau gapura dilaksanakan secara gotong royong. Kerja bakti dilakukan dengan cara gotong royong. Apabila ada teman atau tetangga yang sakit sebaiknya kita menjenguk. Ketika teman lain sedang beribadah kita seharusnya menghormati. Dan kegiatan belajar mengajar di sekolah masih banyak lagi menanamkan pernyataan-pernyataan lainnya tentang konsep kekeluargaan dan gotong royong kepada para siswanya. Harapannya, sejak usia dini anak-anak sudah berkenalan dengan semangat-semangat luhur bangsa Indonesia sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari baik mulai saat ini hingga kelak nanti mereka merasakan hidup bermasyarakat. Alangkah lebih baik apabila semangat gotong royong dan kekeluargaan tidak hanya menjadi teori dan pertanyaan dalam ujian sekolah. Anak-anak tentu akan lebih memahami suatu konsep yang telah diajarkan ketika mereka dapat melihat aplikasi konsep tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pertanyaannya, apakah semangat itu masih tercermin dalam masyarakat Indonesia sehingga anak-anak dapat menyaksikan praktek konsep kekeluargaan dan gotong royong di lingkungan sekitar mereka tinggal?

Di tengah-tengah megahnya gedung-gedung perkantoran, mall, dan juga menjamurnya perumahan di kota-kota masih adakah yang bergotong royong untuk kerja bakti membangun jembatan, gapura, atau sekedar menghias lingkungan satu wilayah (Rukun Tetangga) RT, Rukun Warga) RW, atau kelurahan dalam rangka memeringati HUT RI. Di dalam perumahan ukuran besar dengan pagar yang tinggi dan juga tembok yang tebal, tahukah si empunya rumah ketika tetangganya menderita sakit atau masihkah mereka berbagi oleh-oleh walau sedikit sebagai tanda kekeluargaan. Barangkali setiap kita memiliki jawaban yang berbeda-beda. Sayang sekali apabila anak-anak tidak sempat melihat praktek semangat kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Sebagai seorang anak yang kebetulan lahir dan besar di lingkungan kota, nampaknya semangat itu semakin samar. Dalam kehidupan masyarakat kota, sepertinya praktek semangat kekeluargaan dan gotong royong sudah mulai memudar atau mengalami pergeseran makna. Gotong royong tidak lagi saling membantu memperbaiki jalan atau gapura, tetapi bekerja sama mengumpulkan dana untuk membayar tukang. Sikap kekeluargaan berganti dengan sikap individualis yang barangkali dianggap lebih praktis di tengan tuntutan sosial seperti sekarang ini. Namun, di tengah-tengah krisis semangat gotong royong dan kekeluargaan di masyarakat perkotaan, masih ada titik-titik tempat di tanah air kita yang masih melestarikan semangat itu, yaitu di pedesaan.

Setidaknya kegiatan KKN-PPM yang pernah saya laksanakan mengobati kerinduan saya akan suasana kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana diajarkan di bangku sekolah dulu. Desa Segorogunung yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah kembali mengajarkan tentang semangat kekeluargaan dan gotong royong. Kondisi geografis yang jelas berbeda dengan tempat di mana saya tinggal. Jalan berkelok-kelok, berbatu, dan juga di pinggir jurang terjal hampir menjadi pemandangan sehari-hari. Hamparan ladang sayuran luas memanjakan mata setiap hari. Rumah-rumah sederhana yang terbuat dari tembok biasa bahkan berdinding kayu dan beralaskan tanah masih banyak dijumpai di wilayah desa yang terletak di bawah kaki Gunung Lawu itu. Selain kondisi fisik alam di sana, kehidupan warga tidak kalah menarik untuk menjadi pusat perhatian. Kehidupan bermasyarakat yang berbeda dengan masyarakat kota. Semangat kekeluargaan dan gotong royong masih dijunjung tinggi. Buktinya?

Mereka tidak hanya bergotong royong membangun jalan, gapura, tetapi juga membangun rumah tetangga. Bagi mereka, sudah menjadi kebiasaan untuk membantu tetanga yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Tidak ada tukang bayaran karna yang ada hanyalah gotong royong dari para warga sekitar. Selain itu, kerja bakti rutin diadakan minimal seminggu sekali baik oleh bapak-bapak ataupun ibu-ibu. Walaupun harus bangun pagi-pagi mereka lakoni sebagai ujud rasa kekeluargaan. Kerja bakti menjadi wadah bagi mereka untuk saling mengenal, berbagi, dan bersosialisasi. Satu orang bercerita dan yang lain mendengarkan, demikian situasinya. Pertemuan rutin seperti arisan ataupun sarasehan menjadi rutinitas setiap bulan. Berbagai kegiatan dibahas dalam pertemuan rutin baik terkait dana sosial untuk mereka yang sakit atau berduka, agenda menengok, ataupun merencanakan kepanitiaan bagi tetangga yang akan mengadakan hajatan. Bahkan untuk suatu acara pernikahan seorang warga sampai mengerahkan hampir warga satu dusun untuk menjadi panitia. Mulai dari bagian mempersiapkan konsumsi, MC, sampai dekorasi. Mereka meluangkan waktu untuk membantu tetangga mereka, dan semua berlandaskan pada keikhlasan. Hal-hal sederhana yang barangkali sudah jarang atau hampir tidak kita jumpai di masyarakat kota.


Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai karakter masyarakatnya yang berbeda. Semangat gotong royong dan kekeluargaan yang lebih tercermin dalam masyarakat desa menjadi tolak ukur yang membedakan budaya masyarakat di kota maupun desa. Namun, perbedaan kehidupan di desa dan di kota bukan berarti menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Desa dan kota bukan masalah peradaban yang lebih baik atau sebaliknya. Inilah potret kehidupan masyarakat di Indonesia. Baik masyarakat kota maupun desa memiliki pandangan yang berbeda terhadap semangat kekeluargaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Alangkah indahnya apabila dapat melihat perbedaan budaya yang ada. Anak-anak di kota yang sedang belajar tentang semangat kekeluargaan dan gotong royong dapat diajak untuk bermain ke desa. Di desa mereka dapat merasakan indahnya hidup dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Desa dan kota memiliki kehidupan yang berbeda dengan kebijakan yang berbeda. Kelebihan dan kelemahan menyertai keduanya. Penerapan semangat kekeluargaan dan gotong royong baik desa maupun di kota menjadi saksi tumbuhnya kebudayaan yang berbeda dalam negara kita. sekali lagi inilah Indonesia. 

No comments: