“Maaf, kawasan ini sementara ditutup karena sedang dalam proses pembangunan”, kira-kira demikian kata salah satu penjaga di kawasan wisata Telaga Putri, di depan pintu masuk menuju Bukit Pronojiwo. Kalimat singkat yang memunculkan kekecewaan. Bagaimana tidak?! Sejak sekitar satu minggu lalu kami telah berencana untuk meliar-bersih sampah ke Bukit Pronojiwo, Kaliurang. Bukit dengan ketinggian sekitar 750m yang berada dikawasan Telaga Putri itu, bahkan sejak Januari telah diwacanakan menjadi next destination meliar. Sayangnya, kami berenam yang telah berkendara dari Jogja menuju Kaliurang disambut dengan kenyataan bahwa lokasi sementara tidak dibuka untuk umum. Kecewa jelas dapatterbaca pada raut wajah kita masing-masing saat mendengar hal itu. Namun,kerinduan pada alam dan tekad untuk berbuat ‘sesuatu’ tak meredupkan niat kamiuntuk tetap meliar. Setelah sejenak berpikir dan berunding, akhirnya kami sepakatuntuk mendaki bukit Plawangan sebagai alternatifnya.
Diantara kami berenam tak satupun pernah mencapai puncak Plawangan. Seberapa jauh jarak harus ditempuh kami ketahui dari plang yang terpasang. Medannya pun hanya terbayang dalam angan-angan. Berdasarkan intuisi kami berjalan, mengikuti jejak-jejak yangtertinggal sambil menikmati panorama alam. Sesekali satu diantara kami melontarkan kekaguman ketika melihat bentangan hijau pepohonan dari ketinggian.Begitu pula denganku, kagum pada udara segar dan pesona alam Kaliurang. Matakupun menyapu seluruh pemandangan yang ada di sekitar. Hembusan angin sepoi-sepoi menyejukkan perjalanan. Patahan ranting yang tersebar bersama dengan rontokan bunga-bunga dari pepohonan mengikuti tiap langkah kami berjalan. Pada titik tertentu bertemu dengan bebatuan licin kadang pula batu-batu besar menuntut kehati-hatian dalam menapak. Suatu waktu beberapa dari kita melontarkan keluhan. Mulai karena kelelahan, kesakitan, medan yang dianggap cukup sulit, sampai padamempertanyakan sampai kapan berhenti berjalan. Beberapa kali beristirahat menjadi cara kami untuk tetap mampu bertahan dan melanjutkan. Ada pula yang dengan santainya menempuh medan Plawangan, tanpa ada rasa lelah semangatnya tetap berkobar. Semua rasa bercampur aduk dalam canda tawa ataupun keheningan selama perjalanan.
Matahari bersinar terang dan menyengat. Akhirnya Puncak Plawangan nampak di depan mata. Kelegaan tercermin dalam senyum dan tawa bahagia kami. Barangkali ketinggian Plawangan tak seberapa dibandingkan dengan Gunung Merapi ataupun Lawu, akan tetapi puncaknya tetap hanya dapat diraih dengan mendaki bukan?! Dan kepuasan tersendiri ketika dapat mencapai puncaknya, setidaknya itu menurutku pribadi.Istirahat sejenak melepas lelah, meneguk air, dan berbincang hangat serta merasakan udara di puncak teratas Plawangan (menurut kami) dan mengabadikan gambar tentunya. Lalu kami mengeluarkan bekal yang adalah kantong plastik bekas.Seperti biasanya, sambil turun kami membawa pulang sampah-sampah yang berserakan. Ada sampah plastik, tisu, kardus, dan beberapa jenis sampah lainnya yang tentu bersifat anorganik. Mengambil untuk kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang sudah siap di genggaman. Sampai penuh plastik yang kamibawa kemudian membuangnya di tempat sampah yang tersedia di bawah. Mungkininilah yang belum dilakukan beberapa dari mereka baik atas nama komunitas,organisasi, ataupun individu para pendaki Plawangan. Kesadaran untuk tidak membuang sampah dan mengambil sampah yang ada di sudut-sudut tiap jejak langkah.
Dengan melakukan demikian, kami mencoba untuk belajar. Belajar menghargai alam sebagaimana alam juga telah melakukannya pada kita. Di balik semak masih tercecer bekas botol minuman. Di dalam tanah terpendam plastik bekas bungkus makanan ringan. Kira-kira demikian keadaan alam Plawangan yang kami jumpai. Dibalik keasrian dan keindahan panoramanya, tertinggal sisa-sisa hasil perbuatankita yang kurang bertanggung jawab.
Itulah kami, awak JSNers yang berangkat dari latar belakang dan jam terbang yang berbeda, tetapi satu tujuan kami melakukan kegiatan bersama-sama. Dalam tiap langkah perjalanan, entah dalam pemberhentian ataupun selama perjalanan senantiasa ada mata yang mengintip dari balik lensa. Mengabadikan tiap moment yang terjadi sepanjang perjalanan. Bukan sekedar ingin mengatakan bahwa inilah kami, melainkan berusaha menularkan kesadaran untuk bersama menjaga alam kita. Karena kalau bukan kita,siapa lagi?! Nature Guide Us! :)
-Elizabeth Ranum-
Diantara kami berenam tak satupun pernah mencapai puncak Plawangan. Seberapa jauh jarak harus ditempuh kami ketahui dari plang yang terpasang. Medannya pun hanya terbayang dalam angan-angan. Berdasarkan intuisi kami berjalan, mengikuti jejak-jejak yangtertinggal sambil menikmati panorama alam. Sesekali satu diantara kami melontarkan kekaguman ketika melihat bentangan hijau pepohonan dari ketinggian.Begitu pula denganku, kagum pada udara segar dan pesona alam Kaliurang. Matakupun menyapu seluruh pemandangan yang ada di sekitar. Hembusan angin sepoi-sepoi menyejukkan perjalanan. Patahan ranting yang tersebar bersama dengan rontokan bunga-bunga dari pepohonan mengikuti tiap langkah kami berjalan. Pada titik tertentu bertemu dengan bebatuan licin kadang pula batu-batu besar menuntut kehati-hatian dalam menapak. Suatu waktu beberapa dari kita melontarkan keluhan. Mulai karena kelelahan, kesakitan, medan yang dianggap cukup sulit, sampai padamempertanyakan sampai kapan berhenti berjalan. Beberapa kali beristirahat menjadi cara kami untuk tetap mampu bertahan dan melanjutkan. Ada pula yang dengan santainya menempuh medan Plawangan, tanpa ada rasa lelah semangatnya tetap berkobar. Semua rasa bercampur aduk dalam canda tawa ataupun keheningan selama perjalanan.
Matahari bersinar terang dan menyengat. Akhirnya Puncak Plawangan nampak di depan mata. Kelegaan tercermin dalam senyum dan tawa bahagia kami. Barangkali ketinggian Plawangan tak seberapa dibandingkan dengan Gunung Merapi ataupun Lawu, akan tetapi puncaknya tetap hanya dapat diraih dengan mendaki bukan?! Dan kepuasan tersendiri ketika dapat mencapai puncaknya, setidaknya itu menurutku pribadi.Istirahat sejenak melepas lelah, meneguk air, dan berbincang hangat serta merasakan udara di puncak teratas Plawangan (menurut kami) dan mengabadikan gambar tentunya. Lalu kami mengeluarkan bekal yang adalah kantong plastik bekas.Seperti biasanya, sambil turun kami membawa pulang sampah-sampah yang berserakan. Ada sampah plastik, tisu, kardus, dan beberapa jenis sampah lainnya yang tentu bersifat anorganik. Mengambil untuk kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang sudah siap di genggaman. Sampai penuh plastik yang kamibawa kemudian membuangnya di tempat sampah yang tersedia di bawah. Mungkininilah yang belum dilakukan beberapa dari mereka baik atas nama komunitas,organisasi, ataupun individu para pendaki Plawangan. Kesadaran untuk tidak membuang sampah dan mengambil sampah yang ada di sudut-sudut tiap jejak langkah.
Dengan melakukan demikian, kami mencoba untuk belajar. Belajar menghargai alam sebagaimana alam juga telah melakukannya pada kita. Di balik semak masih tercecer bekas botol minuman. Di dalam tanah terpendam plastik bekas bungkus makanan ringan. Kira-kira demikian keadaan alam Plawangan yang kami jumpai. Dibalik keasrian dan keindahan panoramanya, tertinggal sisa-sisa hasil perbuatankita yang kurang bertanggung jawab.
Itulah kami, awak JSNers yang berangkat dari latar belakang dan jam terbang yang berbeda, tetapi satu tujuan kami melakukan kegiatan bersama-sama. Dalam tiap langkah perjalanan, entah dalam pemberhentian ataupun selama perjalanan senantiasa ada mata yang mengintip dari balik lensa. Mengabadikan tiap moment yang terjadi sepanjang perjalanan. Bukan sekedar ingin mengatakan bahwa inilah kami, melainkan berusaha menularkan kesadaran untuk bersama menjaga alam kita. Karena kalau bukan kita,siapa lagi?! Nature Guide Us! :)
-Elizabeth Ranum-
*catatansebuah perjalanan menuju alam liar dan bersih sampah ke Bukit Plawangan bersama Flavi, Bintang, Sukem, Ndaru, dan Mayan pada Sabtu 23 Maret 2013.
Mendaki Plawangan (oleh: Bintang) |
No comments:
Post a Comment