Ada kisah...
Cahaya,
seorang gadis kecil yang baru saja merayakan ulang tahun pertamanya di angka
kepala dua. Di suatu malam, cahaya membuka jendela kamar dan menemui hembusan
angin malam menampar wajahnya. Ia berdiri memandang bintang-bintang di langit
malam. Tangannya masih menggenggam secarik kertas dan pena, dua barang yang
senantiasa menemani harinya. Malam semakin larut dan tubuhnya masih enggan
untuk masuk dan berbaring tidur. Ia hanya mengambil kursi belajar dan kembali
menikmati malam dari jendela kamar. Di bawah langit berbintang, tangan kanan
cahaya memegeng erat pena kemudian mulai menulis pada secarik kertas tadi.
Cahaya
tidak sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Cahaya tidak juga sedang menulis
artikel untuk memenuhi kerja paruh waktunya. Ia hanya menggerakkan pena seperti
apa yang hasratnya pinta. Dinginnya angin malam dan cantiknya langit berbintang
membawa cahaya pada satu angan. Sebuah angan yang ia tulis dalam selembar
kertas putih. Bintang di langit dan keheningan malam menjadi saksi bisu jemari tangan Cahaya yang bergerak bebas di atas kertas putih.
“...tolong jangan
tanyakan ingin jadi ahli apa aku nantinya. Tolong jangan mempersingkat proses
panjang yang belum usai. Barangkali memang sampai detik ini aku belum mampu
merumuskan jawaban dari pertanyaan itu. Tolong tolong jangan tanyakan lagi.
Walaupun belum kutemui jawaban tepat yang sesuai hati nurani, akan tetapi besar
harapanku menjadi insan yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. Sederhana saja
pintaku, memiliki kemampuan untuk bisa memengaruhi sesamaku untuk bersama
menjaga alam ini. Aku, kamu, dan alam ini saling berkolaborasi. inginku suatu
saat tak hanya mengajak satu dua orang ataupun segelintir kelompok saja, tetapi
lebih banyak dan semakin banyak dari kita yang menyadari betapa ngeri ancaman
bencana akibat ulah kita. aku ingin mengabarkan kepada semua insan bahwa bumi
ini menangis bersamaan dengan kebanggaan kita menaklukannya. Saat kau pamerkan
fotomu di puncak tertinggi, berapa banyak rerumputan yang kehilangan hak
hidupnya karena hentakan keras kaki para pendaki. Tanahpun semakin sesak
bernapas karena sampah plastik yang mereka tinggalkan. Saat kau sedang puas
menikmati keindahan bawah laut bersama kawan-kawan, kau harus mendengar bahwa
bunga karang di dalam sana sedang menjerit ketakutan. Induk ikan di bawah sana
merasa hidupnya terancam.
Aku hanya ingin mangabarkan bahwa sungai yang
kau temui dalam perjalananmu juga mengidap sesak napas setiap kau melemparinya
dengan sisa makanan atau bekas bungkus plastikmu. Pohon di sepanjang jalan pun
berteriak kesakitan ketika demi keuntungan materi kawan-kawanmu menempelkan
sejumlah kertas ataupun menancapkan paku di batangnya. Aku ingin meneriakkan
hutan belantara dalam kondisi sekarat ketika kau mendengar entah ayah atau
saudaramu meraup untung berjuta-juta rupiah hasil proyek pembangunan industri
ataupun sejenisnya. Dan kau perlu tahu bahwa kotamu tak lagi nyaman kau
tinggali hingga kau dan keluargamu riang gembira menikmati liburan di pedesaan,
pantai, pegunungan, tempat yang akan kau jadikan sama seperti kota tempat
tinggalmu. Jauh dari kenyamanan, penuh debu, asap bertebaran, tumbuhan hijau
tak lagi berderetan. Ya itulah anganku. Sederhana tetapi tak semudah itu
merumuskannya. Entah aku harus jadi ahli apa untuk dapat mereaslisakan
anganku.”
Usai
menulis, cahaya menutup jendela kamarnya. Ia mengembalikan kursi belajar ke
tempat semula. Kakinya melangkah untuk menggapai selimut di kasur. Kemudian ia
pun mulai berbaring dengan masih menggenggam secarik kertasnya. Untuk angan
yang ia tuliskan, dibawanya dalam keheningan doa. Berharap semua menjadi nyata.
Cahaya, memejamkan mata dan siap bersinar untuk esok.
No comments:
Post a Comment