Tuesday, August 12, 2014

Pinta Cahaya

Ada kisah...
Cahaya, seorang gadis kecil yang baru saja merayakan ulang tahun pertamanya di angka kepala dua. Di suatu malam, cahaya membuka jendela kamar dan menemui hembusan angin malam menampar wajahnya. Ia berdiri memandang bintang-bintang di langit malam. Tangannya masih menggenggam secarik kertas dan pena, dua barang yang senantiasa menemani harinya. Malam semakin larut dan tubuhnya masih enggan untuk masuk dan berbaring tidur. Ia hanya mengambil kursi belajar dan kembali menikmati malam dari jendela kamar. Di bawah langit berbintang, tangan kanan cahaya memegeng erat pena kemudian mulai menulis pada secarik kertas tadi.
Cahaya tidak sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Cahaya tidak juga sedang menulis artikel untuk memenuhi kerja paruh waktunya. Ia hanya menggerakkan pena seperti apa yang hasratnya pinta. Dinginnya angin malam dan cantiknya langit berbintang membawa cahaya pada satu angan. Sebuah angan yang ia tulis dalam selembar kertas putih. Bintang di langit dan keheningan malam menjadi saksi bisu jemari tangan Cahaya yang bergerak bebas di atas kertas putih. 
“...tolong jangan tanyakan ingin jadi ahli apa aku nantinya. Tolong jangan mempersingkat proses panjang yang belum usai. Barangkali memang sampai detik ini aku belum mampu merumuskan jawaban dari pertanyaan itu. Tolong tolong jangan tanyakan lagi. Walaupun belum kutemui jawaban tepat yang sesuai hati nurani, akan tetapi besar harapanku menjadi insan yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. Sederhana saja pintaku, memiliki kemampuan untuk bisa memengaruhi sesamaku untuk bersama menjaga alam ini. Aku, kamu, dan alam ini saling berkolaborasi. inginku suatu saat tak hanya mengajak satu dua orang ataupun segelintir kelompok saja, tetapi lebih banyak dan semakin banyak dari kita yang menyadari betapa ngeri ancaman bencana akibat ulah kita. aku ingin mengabarkan kepada semua insan bahwa bumi ini menangis bersamaan dengan kebanggaan kita menaklukannya. Saat kau pamerkan fotomu di puncak tertinggi, berapa banyak rerumputan yang kehilangan hak hidupnya karena hentakan keras kaki para pendaki. Tanahpun semakin sesak bernapas karena sampah plastik yang mereka tinggalkan. Saat kau sedang puas menikmati keindahan bawah laut bersama kawan-kawan, kau harus mendengar bahwa bunga karang di dalam sana sedang menjerit ketakutan. Induk ikan di bawah sana merasa hidupnya terancam.
 Aku hanya ingin mangabarkan bahwa sungai yang kau temui dalam perjalananmu juga mengidap sesak napas setiap kau melemparinya dengan sisa makanan atau bekas bungkus plastikmu. Pohon di sepanjang jalan pun berteriak kesakitan ketika demi keuntungan materi kawan-kawanmu menempelkan sejumlah kertas ataupun menancapkan paku di batangnya. Aku ingin meneriakkan hutan belantara dalam kondisi sekarat ketika kau mendengar entah ayah atau saudaramu meraup untung berjuta-juta rupiah hasil proyek pembangunan industri ataupun sejenisnya. Dan kau perlu tahu bahwa kotamu tak lagi nyaman kau tinggali hingga kau dan keluargamu riang gembira menikmati liburan di pedesaan, pantai, pegunungan, tempat yang akan kau jadikan sama seperti kota tempat tinggalmu. Jauh dari kenyamanan, penuh debu, asap bertebaran, tumbuhan hijau tak lagi berderetan. Ya itulah anganku. Sederhana tetapi tak semudah itu merumuskannya. Entah aku harus jadi ahli apa untuk dapat mereaslisakan anganku.”

Usai menulis, cahaya menutup jendela kamarnya. Ia mengembalikan kursi belajar ke tempat semula. Kakinya melangkah untuk menggapai selimut di kasur. Kemudian ia pun mulai berbaring dengan masih menggenggam secarik kertasnya. Untuk angan yang ia tuliskan, dibawanya dalam keheningan doa. Berharap semua menjadi nyata. Cahaya, memejamkan mata dan siap bersinar untuk esok. 

No comments: