Nusantara yang penuh warna menjadi
kebanggaan bagi kita, anak bangsa. Pulau-pulau yang berjajar dari Pulau We
sampai Tanah Papua menyimpan kekayaan yang luar biasa. Suku, agama, ras yang
berdiam di nusantara menyumbang keanekaragaman budaya. Bahasa, tarian,
nyanyian, hingga adat istiadat yang berbeda menjadi keunikan negara kita.
Indahnya perbedaan dalam satu nama, Indonesia. Perbedaan itu lebih sempurna
ketika semuanya memiliki hasrat untuk hidup damai berdampingan. Keinginan untuk
menyadari adanya perbedaan di sekitar kita menjadi awal untuk melihat indahnya
perbedaan itu sendiri. Semangat “Bhineka Tunggal Ika” menjadi cara untuk mempersatukan
perbedaan yang ada.
Setiap kita seharusnya menyadari
adanya perbedaan, dan betapa indahnya perbedaan. Indah seandainya label suku
ataupun ras yang melekat dalam diri menjadi media untuk semakin mencintai
Indonesia, menghargai keberadaan yang lainnya. Keunikan-keunikan dari setiap suku yang berbeda di Indonesia seharusnya
menciptakan kehidupan bertoleransi, bukannya meningkatkan sukuisme yang
berlebihan hingga mengaburkan nasionalisme. Indah sepertinya melihat kehidupan
umat beragama yang saling bertoleransi. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha,
dan Khonghucu memiliki cara yang berbeda untuk memuji Yang Maha Esa. Akan
terasa indah apabila masing-masing dari kita menghargai cara setiap keyakinan
dalam memuji-Nya. Indonesia yang unik akan semakin elok namanya dengan
kedamaian yang tercipta.
Barangkali tidak dapat
dipungkiri, termasuk saya, bahwa sejak lahir label suku, agama, ras sudah
melekat otomatis dalam raga. Bahkan kita tidak dapat memilih untuk terlahir
sebagai Sunda, Dayak, Bugis, Toraja, ataupun Papua. Namun, sebagai insan yang
terlahir dengan label tertentu kita dapat memilih untuk menghargai yang
lainnya. Jawa memanglah suku dengan jumlah populasi paling banyak dan tersebar
di mana-mana, akan tetapi tak boleh kita lupa bahwa Papua juga saudara kita
yang juga berkontribusi mengharumkan nama bangsa. Begitu juga Islam sebagai
agama mayoritas di Indonesia, tetapi agama lainnya ada dan memiliki hak
kewajiban yang sama dalam kehidupan bernegara. Ada saatnya di mana sebagai anak
bangsa kita bangga memamerkan kearifan lokal budaya daerah kita. Atas alasan suku
yang sama, kita bersama mempertahankan adat istiadat yang ada serta berlomba
semakin meningkatkan kecintaan pada budaya lokal kita. akan tetapi kita adalah
bagian dari Indonesia dengan semangat “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu
jua” kita lepaskan label suku, agama, maupun ras yang melekat dalam diri untuk
membangun negeri kita.
Sayangnya, beberapa dari kita
salah dalam memandang perbedaan yang ada. Tidak semua dapat memahami dan
menerima perbedaan yang berkembang di nusantara. Berbagai stereotype muncul
atas golongan tertentu. Stereotype yang dapat memancing kerusuhan antar golongan.
Stereotype demikian berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan celakanya apabila
diturunkan pada generasi berikutnya. Seolah-olah semua yang bersuku tertentu
identik dengan stereotype yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Jarang
diantara kita yang akhirnya memandang seseorang sebagai individu yang bebas dan
unik. Label suku telah membuat seorang bayi terlahir dengan penilaian yang
sudah ada.
Sejak lahir, keluarga memperkenalkan
kita pada budaya. Kita terlahir sebagai warga negara Indonesia, tetapi secara
lebih khusus kita diperkenalkan pada apa suku, ras, dan agama kita. Bahkan tak
sempat kita memilihnya, bukan?! Sejak
dini, anak-anak diperkenalkan pada adat istiadat sukunya, mulai dari bahasa
daerah, lagu daerah, sampai pada tradisi-tradisi yang ada. Hal positif tentunya
ketika orang tua menanamkan sikap nguri-nguri
kabudayan, dalam istilah Jawanya. Bahkan di usia sekolah dasar, setiap
sekolah memiliki kurikulum yang memuat muatan lokal sebagai salah satu mata
pelajaran. Anak-anak bagai kertas kosong yang dengan mudah menerima pengetahuan
apapun dari sekitarnya. Dan begitu indahnya ketika mereka diharuskan
menghafalakan keragaman budaya di Indonesia. Ketika anak-anak diperkenalakan
pada perbedaan yang nyata ada menjadi awal mereka untuk mengenal dan menghargai
perbedaan. Sayangnya, selain keanekaragaman budaya yang positif, sejak dini
kita juga diperkenalkan dengan stereotype-stereotype negatif tentang suku atau
golongan tertentu. Stereotype inilah yang mencipatakan persepsi buruk terhadap
satu golongan tertentu. Akhirnya perbedaan tidak dipandang sebagai keragaman
yang patut dibanggakan, tetapi lebih kepada kompetisi untuk saling
mengunggulkan diri dan memandang sebelah mata pada yang lain.
Parahnya, perbedaan menjadi alasan
untuk saling bertikai dan memperkuat golongan. Perbedaan menjadi alasan untuk
melakukan kekerasan. Pada realitanya, perbedaan menjadi penyebab adanya
anarkisme di sejumlah sudut kota di Indonesia. Pada kenyataannya perbedaan
inilah yang menjadi bumerang bagi keharmonisan negara kita. Berapa kali
pemberitaan media menyebutkan perilaku tawuran antar suku?! Seseorang yang
berasal dari suku A mendapatkan perlakuan buruk dari orang yang berasal dari
suku B, dan karena itu keduanya mengumpulkan massa untuk saling bertikai.
Barangkali siapa yang menang akan dianggap seolah-olah menjadi suku yang hebat
dan tak terkalahkan. Berapa kali kita mendengar kekerasan atas nama agama?!
Sekumpulan orang seolah menganggap ajarannya yang paling benar dan melarang
hak-hak agama lainnya.
Ironis sekali memang mendengar
pemberitaan yang demikian. Perbedaan yang seharusnya menjadi indah tertutup
oleh sikap anarkis. Perbedaan yang dapat menjadi nilai tambah bagi Indonesia
justru menjadi senjata ampuh untuk memporak-porandakan persatuan. Bagaimana
kita memandang perbedaan sepertinya akan menentukan bagaimana kita
memperlakukan perbedaan itu. Bagi saya, perbedaan itu ada dan selalu ada, dan
akan menjadi warna bagi nusantara. Perbedaan itu indah ketika kita terbuka dan bersedia
dengan kerendahan hati untuk menerimanya. Layaknya warna pelangi yang
memberikan keindahan hamparan langit biru, demikian perbedaan mewarnai
nusantara. Bagaimana menurut Anda?
Sebuah tulisan anak bangsa yang
merindukan kehidupan harmonis di atas perbedaan yang ada di nusantara.
No comments:
Post a Comment