Saturday, August 30, 2014

(jangan sampai) Terlambat Meralat Kata

Kita bebas berkata-kata
Kita bebas mengungkapkan rasa dan ekspresi
Mengatakannya kepada kawan
Menuliskannya pada akun jejaring sosial
Atau pun lewat sebuah karya seni
Baik sastra, lukis, musik, tari, dan teatrikal
Bebas. Bebas.
Kita memiliki hak untuk itu
Hak untuk menyuarakan ekspresi
Hak untuk berkarya
Namun, kadang kita lupa
Kita lupa kalau setiap orang punya hak
Dan seiring dengan itu, kita memiliki kewajiban
Kewajiban untuk menghormati hak orang lain
Selain itu kita juga mengenal etika
Etika perlu dikedepankan, bukan malah dikesampingkan
Etika untuk menghargai perasaan orang lain
Etika untuk menjaga privasi orang lain
Etika untuk menghargai perbedaan yang ada
Etika dalam berbicara
Etika menulis
Dan juga etika bermedia
Termasuk di dalamnya, etika bermedia sosial

Ironis mendengar pemberitaan di media tentang pelanggaran etika oleh seorang dengan pendidikan tinggi. Seorang yang mengekspresikan keluhan di media sosial dengan kalimat yang menyinggung banyak pihak. Secara otomatis, publik akan melihat latar belakang pendidikan. Publik menghujat, menghakimi, dan memberikan sanksi moral kepada yang bersangkutan melalui media sosial. Bahkan ada pula yang menghujat dengan umpatan dan ekspresi emosional. Beberapa barangkali akan bertanya keheranan, bagaimana bisa?! Bukankah pendidikan mengajarkan anak didiknya untuk mengedepankan etika dalam bertindak dan bertutur kata?! Adakah yang salah dengan dirinya? Atau barangkali ada yang salah dengan dunia pendidikan kita? Pada akhirnya, banyak pihak menyoroti fenomena ini dan memberikan analisis sesuai dengan perspektif masing-masing. Beberapa menyoroti pribadi yang bersangkutan, yang lainnya menyoroti dunia pendidikan negeri ini. Menarik melihat perspektif pendidikan karakter dari fenomena ini. Suatu fenomena yang tidak hanya terjadi satu kali dan pada satu orang saja. Di luar sana tentu masih ada kasus serupa yang hanya saja  tidak terekspose media. Apakah ini menunjukkan krisis moral anak bangsa?
Saya hanyalah pembelajar yang belum mampu menganalisis kasus seperti ini. Namun, adanya kasus ini mengingatkan saya dan semakin memperkuat keyakinan saya akan satu hal bahwa sekolah bukan hanya untuk nilai, tetapi sekolah untuk hidup. Dengan demikian, proses akademik sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi tidak hanya menjadi sarana untuk mencari angka (nilai), tetapi menjadi proses belajar untuk hidup. Belajar untuk semakin menjadi pribadi yang berkarakter, pribadi yang penuh toleransi, dan tentu saja mengedepankan etika dalam tindak dan tutur kata sehingga bermanfaat bagi alam dan sesama. Semoga saja, pendidikan di negeri ini dapat memfasilitasi anak bangsa dalam  belajar untuk hidup, bukan sekedar untuk nilai.

Menjaga tutur kata, dan jangan sampai kita terlambat meralat kata. Kelalaian sedikit saja, efeknya dapat merusak citra. Seperti pepatah berkata “gara-gara nila setithik, rusak susu sebelanga”


Thursday, August 28, 2014

It's not Goodbye...

If you’re brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello (Paulo Choelo)

Kita seringkali terjebak dalam rutinitas, ketika kita melakukan hal yang sama pada periode waktu tertentu. Salah satunya terjadi pada hal sederhana seperti waktu untuk istirahat atau tidur. Sebagai mahasiswa dengan tugas-tugas kuliah dan seabrek kesibukan lainnya, waktu tidur menjadi aktivitas yang langka. Dalam tempo satu hari 24 jam, beberapa dari kita memiliki waktu tidur yang kurang dari idealnya. Beberapa diantara kita terjebak pada rutinitas tidur lewat tengah malam. Berawal dari lembur tugas kuliah ataupun menyelesaikan tugas akhir yang tak mungkin ditunda keesokan harinya. Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan dan selanjutnya terus saja menikmati ritme tidur lewat tengah malam. Bahkan rutinitas tersebut berlanjut walaupun tidak ada satu pun hal yang menuntut wajib dikerjakan hingga larut malam. Alhasil kita masuk dalam rutinitas tidur tengah malam dengan memunculkan berbagai aktifitas baru yang kadang tidak genting dan tidak penting. Ketika alasannya adalah menyelesaikan tugas kuliah, maka kita dapati kepuasan atas hasil jerih payah. Namun, apabila tidak, kita hanya akan mendapati kondisi tubuh yang tidak fit dan tidak fresh akibat tidur lewat tengah malam. Keesokan paginya pun menghambat produktivitas.

Bukan hal mudah memang menyudahi rutinitas yang menjadi kebiasaan. Tidak mudah meninggalkan kebiasaan lama yang mulai mengganggu, untuk menciptakan kebiasaan baru yang mendukung produktivitas kita. Walaupun tidak mudah, tapi percayalah sebuah perubahan niscaya dapat terjadi apabila ada upaya dan keberanian untuk mengubahnya. Keberanian untuk meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan kebiasaan-kebiasaan lama kita tidak selamanya adalah hal negatif. Beberapa kebiasaan bersifat positif, tetapi menjadi buruk ketika tidak mendorong kita untuk berkembang menjadi pribadi lebih baik. Bukankah kebiasaan membaca baik dilakukan? Kebiasaan menulis baik dilakukan? Kebiasaan menggali pengalaman dengan aktif di organisasi baik dilakukan? Akan tetapi semua itu menjadi tidak baik, ketika kita terjebak terlalu lama dalam rutinitas tersebut tanpa mengembangkan diri. Oleh karena itu kesadaran menjadi diperlukan, untuk tahu sejauh mana kita telah masuk dalam rutinitas atau kebiasaan.

Beberapa diantara kita hobi membaca, apapun tema dan judul buku menjadi makanan sehari-hari. Sepanjang hari membaca, ada waktu luang membaca, ada uang berlebih pun untuk membeli buku kemudian membaca. Membaca, membaca, dan membaca. Barangkali kita merasa menjadi orang paling hebat dan pintar setelah membaca banyak dan berbagai jenis buku. Then, what will you do? Kira-kira demikianlah pertanyaannya. Apa yang bisa kita lakukan setelah melahap puluhan buku. Inilah yang kumaksud dengan terjebak pada rutinitas. Rutinitas yang positif, tetapi menjadi tidak baik ketika kita terjebak di dalamnya tanpa menghadirkan manfaat lebih. Di sinilah tantangan kita untuk meninggalkan kebiasaan lama yang tidak mengembangkan diri. Butuh keberanian untuk memulai hal baru, sekalipun dengan cara meninggalkan hal lama.

Aneh rasanya meninggalkan rutinitas lama, yang sudah menemani hari-hari kita. Sulit rasanya membagi waktu untuk mengurangi kebiasaan lama dan memberi waktu untuk hal baru. Ketakutan seringkali menjadi momok menyebalkan yang tiba-tiba muncul. Jangan-jangan begini dan jangan-jangan begitu terlintas di benak setiap kali akan melakukan hal baru dengan meninggalkan hal lama. Tapi demikianlah dinamikanya. Bukankah pepatah mengatakan bahwa keraguan menjadi satu elemen menuju keyakinan?! Itulah mengapa aku menuliskan quote dari Paulo Coelho di awal tulisan. Bagi kita yang sedang terjebak dalam rutinitas dan itu mulai menganggu, mari kita berani berkata sudah cukup. Apapun itu bentuk hal lama, kebiasaan lama, rutinitas lama yang dirasa menganggu dan memunculkan ketakutan untuk menjumpai hal baru, bisa kita tinggalkan saja. This is enough and goodbye! Hey, a new hello!

Sunday, August 17, 2014

Berbicara dengan Mewarna

Aku suka memadupadankan warna
bermain-main warna
berekspresi lewat warna
Aku menggilai warna
berbicara lewat warna
hampir sama dengan berkata-kata

kumpulan ekspresi yang dibuat dengan aplikasi Paint

Indonesia Merdeka, Indonesia Jaya!

pemandangan dari tanah sampah langit

A Very Merry Christmas

pot bonsai

But for now, this is enough

lucky number

All about foods
Warna Kesukaan

full of colour

Saturday, August 16, 2014

Warna-Warni Nusantara


Nusantara yang penuh warna menjadi kebanggaan bagi kita, anak bangsa. Pulau-pulau yang berjajar dari Pulau We sampai Tanah Papua menyimpan kekayaan yang luar biasa. Suku, agama, ras yang berdiam di nusantara menyumbang keanekaragaman budaya. Bahasa, tarian, nyanyian, hingga adat istiadat yang berbeda menjadi keunikan negara kita. Indahnya perbedaan dalam satu nama, Indonesia. Perbedaan itu lebih sempurna ketika semuanya memiliki hasrat untuk hidup damai berdampingan. Keinginan untuk menyadari adanya perbedaan di sekitar kita menjadi awal untuk melihat indahnya perbedaan itu sendiri. Semangat “Bhineka Tunggal Ika” menjadi cara untuk mempersatukan perbedaan yang ada.

Setiap kita seharusnya menyadari adanya perbedaan, dan betapa indahnya perbedaan. Indah seandainya label suku ataupun ras yang melekat dalam diri menjadi media untuk semakin mencintai Indonesia, menghargai keberadaan yang lainnya. Keunikan-keunikan dari setiap suku yang berbeda di Indonesia seharusnya menciptakan kehidupan bertoleransi, bukannya meningkatkan sukuisme yang berlebihan hingga mengaburkan nasionalisme. Indah sepertinya melihat kehidupan umat beragama yang saling bertoleransi. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu memiliki cara yang berbeda untuk memuji Yang Maha Esa. Akan terasa indah apabila masing-masing dari kita menghargai cara setiap keyakinan dalam memuji-Nya. Indonesia yang unik akan semakin elok namanya dengan kedamaian yang tercipta.

Barangkali tidak dapat dipungkiri, termasuk saya, bahwa sejak lahir label suku, agama, ras sudah melekat otomatis dalam raga. Bahkan kita tidak dapat memilih untuk terlahir sebagai Sunda, Dayak, Bugis, Toraja, ataupun Papua. Namun, sebagai insan yang terlahir dengan label tertentu kita dapat memilih untuk menghargai yang lainnya. Jawa memanglah suku dengan jumlah populasi paling banyak dan tersebar di mana-mana, akan tetapi tak boleh kita lupa bahwa Papua juga saudara kita yang juga berkontribusi mengharumkan nama bangsa. Begitu juga Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, tetapi agama lainnya ada dan memiliki hak kewajiban yang sama dalam kehidupan bernegara. Ada saatnya di mana sebagai anak bangsa kita bangga memamerkan kearifan lokal budaya daerah kita. Atas alasan suku yang sama, kita bersama mempertahankan adat istiadat yang ada serta berlomba semakin meningkatkan kecintaan pada budaya lokal kita. akan tetapi kita adalah bagian dari Indonesia dengan semangat “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua” kita lepaskan label suku, agama, maupun ras yang melekat dalam diri untuk membangun negeri kita.

Sayangnya, beberapa dari kita salah dalam memandang perbedaan yang ada. Tidak semua dapat memahami dan menerima perbedaan yang berkembang di nusantara. Berbagai stereotype muncul atas golongan tertentu. Stereotype yang dapat memancing kerusuhan antar golongan. Stereotype demikian berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan celakanya apabila diturunkan pada generasi berikutnya. Seolah-olah semua yang bersuku tertentu identik dengan stereotype yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Jarang diantara kita yang akhirnya memandang seseorang sebagai individu yang bebas dan unik. Label suku telah membuat seorang bayi terlahir dengan penilaian yang sudah ada.

Sejak lahir, keluarga memperkenalkan kita pada budaya. Kita terlahir sebagai warga negara Indonesia, tetapi secara lebih khusus kita diperkenalkan pada apa suku, ras, dan agama kita. Bahkan tak sempat kita memilihnya, bukan?!  Sejak dini, anak-anak diperkenalkan pada adat istiadat sukunya, mulai dari bahasa daerah, lagu daerah, sampai pada tradisi-tradisi yang ada. Hal positif tentunya ketika orang tua menanamkan sikap nguri-nguri kabudayan, dalam istilah Jawanya. Bahkan di usia sekolah dasar, setiap sekolah memiliki kurikulum yang memuat muatan lokal sebagai salah satu mata pelajaran. Anak-anak bagai kertas kosong yang dengan mudah menerima pengetahuan apapun dari sekitarnya. Dan begitu indahnya ketika mereka diharuskan menghafalakan keragaman budaya di Indonesia. Ketika anak-anak diperkenalakan pada perbedaan yang nyata ada menjadi awal mereka untuk mengenal dan menghargai perbedaan. Sayangnya, selain keanekaragaman budaya yang positif, sejak dini kita juga diperkenalkan dengan stereotype-stereotype negatif tentang suku atau golongan tertentu. Stereotype inilah yang mencipatakan persepsi buruk terhadap satu golongan tertentu. Akhirnya perbedaan tidak dipandang sebagai keragaman yang patut dibanggakan, tetapi lebih kepada kompetisi untuk saling mengunggulkan diri dan memandang sebelah mata pada yang lain.
Parahnya, perbedaan menjadi alasan untuk saling bertikai dan memperkuat golongan. Perbedaan menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Pada realitanya, perbedaan menjadi penyebab adanya anarkisme di sejumlah sudut kota di Indonesia. Pada kenyataannya perbedaan inilah yang menjadi bumerang bagi keharmonisan negara kita. Berapa kali pemberitaan media menyebutkan perilaku tawuran antar suku?! Seseorang yang berasal dari suku A mendapatkan perlakuan buruk dari orang yang berasal dari suku B, dan karena itu keduanya mengumpulkan massa untuk saling bertikai. Barangkali siapa yang menang akan dianggap seolah-olah menjadi suku yang hebat dan tak terkalahkan. Berapa kali kita mendengar kekerasan atas nama agama?! Sekumpulan orang seolah menganggap ajarannya yang paling benar dan melarang hak-hak agama lainnya.

Ironis sekali memang mendengar pemberitaan yang demikian. Perbedaan yang seharusnya menjadi indah tertutup oleh sikap anarkis. Perbedaan yang dapat menjadi nilai tambah bagi Indonesia justru menjadi senjata ampuh untuk memporak-porandakan persatuan. Bagaimana kita memandang perbedaan sepertinya akan menentukan bagaimana kita memperlakukan perbedaan itu. Bagi saya, perbedaan itu ada dan selalu ada, dan akan menjadi warna bagi nusantara. Perbedaan itu indah ketika kita terbuka dan bersedia dengan kerendahan hati untuk menerimanya. Layaknya warna pelangi yang memberikan keindahan hamparan langit biru, demikian perbedaan mewarnai nusantara. Bagaimana menurut Anda?


Sebuah tulisan anak bangsa yang merindukan kehidupan harmonis di atas perbedaan yang ada di nusantara.

Thursday, August 14, 2014

Kalau Boleh

hanya...
Kalau boleh batu bergerak, ia akan melompat tinggi
Kalau boleh tanah bersuara, ia akan berteriak kencang
Kalau boleh awan mendekat, ia akan memeluk erat
Kalau boleh bunga bercakap, ia akan menyanyikan lagu sendu
Kalau boleh semut memilih, ia akan terbang layaknya elang
Kalau boleh pohon berucap, ia akan menangis hebat
kalau boleh matahari meminta, ia akan berhenti menyinari
Kalau boleh bulan memohon, ia akan meminta teman
Kalau boleh air mengeluh, ia akan berhenti mengalir
Kalau boleh waktu berlari, ia akan mempercepat hari
Kalau boleh udara berganti, ia akan berhenti menghidupi
Kalau boleh aku jadi Tuhan, akan kukabulkan

akan tetapi, ingat kawan...
...di balik angan, ada keterbatasan

Wednesday, August 13, 2014

Potret Masyarakat Indonesia


Kekeluargaan dan gotong royong, sebuah slogan dan semangat yang barangkali sudah diperdengarkan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dua sikap yang dianggap menjadi karakter  khas masyarakat Indonesia. Bahkan dalam soal ujian di sekolah dasar (SD) seringkali keluar pertanyaan yang kira-kira demikian,  “sikap yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia adalah....”. Dan dengan mudah para siswa akan menjawab kekeluargaan dan gotong royong. Entah siapa orang pertama yang merumuskan kedua kata itu sehingga memiliki kekuatan yang hebat. Ketika belajar tentang kekeluargaan dan gotong royong serasa bumi Indonesia dilingkupi kenyamanan, senyuman, dan keramahtamahan. Barangkali memang demikian kehidupan nenek moyang kita sejak dulu hingga tercetus semangat itu. Dalam benak, kehidupan gotong royong identik dengan sikap saling membantu satu sama lain dan kekeluargaan identik dengan sikap yang senantiasa mengedepankan toleransi. Masih hangat dalam ingatan, pelajaran kewarganegaraan yang banyak membahas kedua hal tersebut.

Bapak/Ibu guru ataupun buku-buku pelajaran selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Pembangunan jembatan atau gapura dilaksanakan secara gotong royong. Kerja bakti dilakukan dengan cara gotong royong. Apabila ada teman atau tetangga yang sakit sebaiknya kita menjenguk. Ketika teman lain sedang beribadah kita seharusnya menghormati. Dan kegiatan belajar mengajar di sekolah masih banyak lagi menanamkan pernyataan-pernyataan lainnya tentang konsep kekeluargaan dan gotong royong kepada para siswanya. Harapannya, sejak usia dini anak-anak sudah berkenalan dengan semangat-semangat luhur bangsa Indonesia sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari baik mulai saat ini hingga kelak nanti mereka merasakan hidup bermasyarakat. Alangkah lebih baik apabila semangat gotong royong dan kekeluargaan tidak hanya menjadi teori dan pertanyaan dalam ujian sekolah. Anak-anak tentu akan lebih memahami suatu konsep yang telah diajarkan ketika mereka dapat melihat aplikasi konsep tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pertanyaannya, apakah semangat itu masih tercermin dalam masyarakat Indonesia sehingga anak-anak dapat menyaksikan praktek konsep kekeluargaan dan gotong royong di lingkungan sekitar mereka tinggal?

Di tengah-tengah megahnya gedung-gedung perkantoran, mall, dan juga menjamurnya perumahan di kota-kota masih adakah yang bergotong royong untuk kerja bakti membangun jembatan, gapura, atau sekedar menghias lingkungan satu wilayah (Rukun Tetangga) RT, Rukun Warga) RW, atau kelurahan dalam rangka memeringati HUT RI. Di dalam perumahan ukuran besar dengan pagar yang tinggi dan juga tembok yang tebal, tahukah si empunya rumah ketika tetangganya menderita sakit atau masihkah mereka berbagi oleh-oleh walau sedikit sebagai tanda kekeluargaan. Barangkali setiap kita memiliki jawaban yang berbeda-beda. Sayang sekali apabila anak-anak tidak sempat melihat praktek semangat kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Sebagai seorang anak yang kebetulan lahir dan besar di lingkungan kota, nampaknya semangat itu semakin samar. Dalam kehidupan masyarakat kota, sepertinya praktek semangat kekeluargaan dan gotong royong sudah mulai memudar atau mengalami pergeseran makna. Gotong royong tidak lagi saling membantu memperbaiki jalan atau gapura, tetapi bekerja sama mengumpulkan dana untuk membayar tukang. Sikap kekeluargaan berganti dengan sikap individualis yang barangkali dianggap lebih praktis di tengan tuntutan sosial seperti sekarang ini. Namun, di tengah-tengah krisis semangat gotong royong dan kekeluargaan di masyarakat perkotaan, masih ada titik-titik tempat di tanah air kita yang masih melestarikan semangat itu, yaitu di pedesaan.

Setidaknya kegiatan KKN-PPM yang pernah saya laksanakan mengobati kerinduan saya akan suasana kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana diajarkan di bangku sekolah dulu. Desa Segorogunung yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah kembali mengajarkan tentang semangat kekeluargaan dan gotong royong. Kondisi geografis yang jelas berbeda dengan tempat di mana saya tinggal. Jalan berkelok-kelok, berbatu, dan juga di pinggir jurang terjal hampir menjadi pemandangan sehari-hari. Hamparan ladang sayuran luas memanjakan mata setiap hari. Rumah-rumah sederhana yang terbuat dari tembok biasa bahkan berdinding kayu dan beralaskan tanah masih banyak dijumpai di wilayah desa yang terletak di bawah kaki Gunung Lawu itu. Selain kondisi fisik alam di sana, kehidupan warga tidak kalah menarik untuk menjadi pusat perhatian. Kehidupan bermasyarakat yang berbeda dengan masyarakat kota. Semangat kekeluargaan dan gotong royong masih dijunjung tinggi. Buktinya?

Mereka tidak hanya bergotong royong membangun jalan, gapura, tetapi juga membangun rumah tetangga. Bagi mereka, sudah menjadi kebiasaan untuk membantu tetanga yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Tidak ada tukang bayaran karna yang ada hanyalah gotong royong dari para warga sekitar. Selain itu, kerja bakti rutin diadakan minimal seminggu sekali baik oleh bapak-bapak ataupun ibu-ibu. Walaupun harus bangun pagi-pagi mereka lakoni sebagai ujud rasa kekeluargaan. Kerja bakti menjadi wadah bagi mereka untuk saling mengenal, berbagi, dan bersosialisasi. Satu orang bercerita dan yang lain mendengarkan, demikian situasinya. Pertemuan rutin seperti arisan ataupun sarasehan menjadi rutinitas setiap bulan. Berbagai kegiatan dibahas dalam pertemuan rutin baik terkait dana sosial untuk mereka yang sakit atau berduka, agenda menengok, ataupun merencanakan kepanitiaan bagi tetangga yang akan mengadakan hajatan. Bahkan untuk suatu acara pernikahan seorang warga sampai mengerahkan hampir warga satu dusun untuk menjadi panitia. Mulai dari bagian mempersiapkan konsumsi, MC, sampai dekorasi. Mereka meluangkan waktu untuk membantu tetangga mereka, dan semua berlandaskan pada keikhlasan. Hal-hal sederhana yang barangkali sudah jarang atau hampir tidak kita jumpai di masyarakat kota.


Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai karakter masyarakatnya yang berbeda. Semangat gotong royong dan kekeluargaan yang lebih tercermin dalam masyarakat desa menjadi tolak ukur yang membedakan budaya masyarakat di kota maupun desa. Namun, perbedaan kehidupan di desa dan di kota bukan berarti menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Desa dan kota bukan masalah peradaban yang lebih baik atau sebaliknya. Inilah potret kehidupan masyarakat di Indonesia. Baik masyarakat kota maupun desa memiliki pandangan yang berbeda terhadap semangat kekeluargaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Alangkah indahnya apabila dapat melihat perbedaan budaya yang ada. Anak-anak di kota yang sedang belajar tentang semangat kekeluargaan dan gotong royong dapat diajak untuk bermain ke desa. Di desa mereka dapat merasakan indahnya hidup dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Desa dan kota memiliki kehidupan yang berbeda dengan kebijakan yang berbeda. Kelebihan dan kelemahan menyertai keduanya. Penerapan semangat kekeluargaan dan gotong royong baik desa maupun di kota menjadi saksi tumbuhnya kebudayaan yang berbeda dalam negara kita. sekali lagi inilah Indonesia. 

Tuesday, August 12, 2014

Pinta Cahaya

Ada kisah...
Cahaya, seorang gadis kecil yang baru saja merayakan ulang tahun pertamanya di angka kepala dua. Di suatu malam, cahaya membuka jendela kamar dan menemui hembusan angin malam menampar wajahnya. Ia berdiri memandang bintang-bintang di langit malam. Tangannya masih menggenggam secarik kertas dan pena, dua barang yang senantiasa menemani harinya. Malam semakin larut dan tubuhnya masih enggan untuk masuk dan berbaring tidur. Ia hanya mengambil kursi belajar dan kembali menikmati malam dari jendela kamar. Di bawah langit berbintang, tangan kanan cahaya memegeng erat pena kemudian mulai menulis pada secarik kertas tadi.
Cahaya tidak sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Cahaya tidak juga sedang menulis artikel untuk memenuhi kerja paruh waktunya. Ia hanya menggerakkan pena seperti apa yang hasratnya pinta. Dinginnya angin malam dan cantiknya langit berbintang membawa cahaya pada satu angan. Sebuah angan yang ia tulis dalam selembar kertas putih. Bintang di langit dan keheningan malam menjadi saksi bisu jemari tangan Cahaya yang bergerak bebas di atas kertas putih. 
“...tolong jangan tanyakan ingin jadi ahli apa aku nantinya. Tolong jangan mempersingkat proses panjang yang belum usai. Barangkali memang sampai detik ini aku belum mampu merumuskan jawaban dari pertanyaan itu. Tolong tolong jangan tanyakan lagi. Walaupun belum kutemui jawaban tepat yang sesuai hati nurani, akan tetapi besar harapanku menjadi insan yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. Sederhana saja pintaku, memiliki kemampuan untuk bisa memengaruhi sesamaku untuk bersama menjaga alam ini. Aku, kamu, dan alam ini saling berkolaborasi. inginku suatu saat tak hanya mengajak satu dua orang ataupun segelintir kelompok saja, tetapi lebih banyak dan semakin banyak dari kita yang menyadari betapa ngeri ancaman bencana akibat ulah kita. aku ingin mengabarkan kepada semua insan bahwa bumi ini menangis bersamaan dengan kebanggaan kita menaklukannya. Saat kau pamerkan fotomu di puncak tertinggi, berapa banyak rerumputan yang kehilangan hak hidupnya karena hentakan keras kaki para pendaki. Tanahpun semakin sesak bernapas karena sampah plastik yang mereka tinggalkan. Saat kau sedang puas menikmati keindahan bawah laut bersama kawan-kawan, kau harus mendengar bahwa bunga karang di dalam sana sedang menjerit ketakutan. Induk ikan di bawah sana merasa hidupnya terancam.
 Aku hanya ingin mangabarkan bahwa sungai yang kau temui dalam perjalananmu juga mengidap sesak napas setiap kau melemparinya dengan sisa makanan atau bekas bungkus plastikmu. Pohon di sepanjang jalan pun berteriak kesakitan ketika demi keuntungan materi kawan-kawanmu menempelkan sejumlah kertas ataupun menancapkan paku di batangnya. Aku ingin meneriakkan hutan belantara dalam kondisi sekarat ketika kau mendengar entah ayah atau saudaramu meraup untung berjuta-juta rupiah hasil proyek pembangunan industri ataupun sejenisnya. Dan kau perlu tahu bahwa kotamu tak lagi nyaman kau tinggali hingga kau dan keluargamu riang gembira menikmati liburan di pedesaan, pantai, pegunungan, tempat yang akan kau jadikan sama seperti kota tempat tinggalmu. Jauh dari kenyamanan, penuh debu, asap bertebaran, tumbuhan hijau tak lagi berderetan. Ya itulah anganku. Sederhana tetapi tak semudah itu merumuskannya. Entah aku harus jadi ahli apa untuk dapat mereaslisakan anganku.”

Usai menulis, cahaya menutup jendela kamarnya. Ia mengembalikan kursi belajar ke tempat semula. Kakinya melangkah untuk menggapai selimut di kasur. Kemudian ia pun mulai berbaring dengan masih menggenggam secarik kertasnya. Untuk angan yang ia tuliskan, dibawanya dalam keheningan doa. Berharap semua menjadi nyata. Cahaya, memejamkan mata dan siap bersinar untuk esok. 

Monday, August 11, 2014

Karakter Diri


Setiap pribadi unik dengan karakter yang melekat dalam dirinya. Berbicara tentang karakter, mengingatkan pada salah satu novel karangan Paulo Coelho berjudul “Kitab Suci Ksatria Cahaya”. Berbeda dengan cerita pada novel-novel lainnya, Paulo Coelho mencoba untuk memaparkan tentang sosok ksatria cahaya. Selesai membaca novel tersebut, saya menarik kesimpulan tentang sosok ksatria cahaya. Sosok unik yang ada pada diri kita masing-masing. Ksatria cahaya mengarah pada karakter pribadi yang ada dalam diri tiap insan.
            Terlahir dengan perbedaan, itulah kita manusia. Namun setiap dari kita memiliki keunikan yang bisa ditonjolkan serta dikembangkan. Bahkan keunikan ini bisa menjadi hadiah bagi dunia. Seperti Hellen Keller, dengan keterbatasan fisiknya dia dapat menjadi tokoh inspiratif bagi dunia. Buta tidak menjadi perkara untuk membagikan talenta dan potensi dirinya. Namun, tidak banyak diantara kita yang mengenal keunikan karakter diri. Lebih sering kita mengeluh dengan kondisi dan tak jarang muncul rasa iri hati. Itulah mengapa ada ungkapan ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’. Satu ungkapan yang menunjukkan ketidakmampuan melihat potensi di ladang sendiri.  
            Celakanya kalau ungkapan itu banyak dihidupi oleh kaum muda di negeri ini tanpa ada aksi nyata mengubah kondisi. Niscaya tercipta generasi bangsa yang hanya berdiam diri melihat ‘rumput tetangga yang semakin hijau dan tumbuh tinggi’. Barangkali satu hal yang perlu dimiliki oleh kaum muda bangsa ini, yakni karakter.  Karakter ada di dalam diri. Dan satu cara untuk menyadarinya adalah dengan mengenal diri sendiri. Pengenalan diri lebih dari pada hanya mengenal sosok fisik, tetapi juga setiap kelemahan dan kelebihan yang ada untuk dikembangkan. Karakter bukan semata tentang kondisi fisik, bukan pula tentang prestasi akademik, ataupun latar sosial ekonomi. Kemampuan untuk menemukan keunikan dalam diri juga menjadi sarana untuk mengembangkan karakter diri, tentu ke arah lebih baik. Karakter mampu membawa seseorang mencapai tujuannya, hasrat terdalamnya. Dan biasa kita sebut dengan passion. Kutipan Paulo Coelho berikut semacam ingin menggambarkan sosok berkarakter.
Di situlah letak kekuatan air: dia tidak dapat diremukkan palu ataupun dilukai pisau. Bahkan pedang paling ampuh sedunia pun tak akan bisa menggoresi permukaannya.”
“Aliran air sungai menyesuaikan dirinya dengan alur apapun yang tampak mungkin, tetapi sang sungai tak pernah melupakan tujuannya,  yakni laut”
            Seorang yang punya karakter layaknya air mampu mengenal baik siapa dirinya dan di mana letak kekuatannya. Tak hanya mampu mempertahankan diri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi yang lainnya. Ingatkah kita pada Sok Hok Gie? Sosok muda yang aktif melakukan gerakan karna kecintaannya pada bangsa ini. Walaupun dia telah tiada, namun perjuangan serta tulisan dan jejaknya tetap terkenang. Entah siapa lagi yang mampu menjadi sosok Sok Hok Gie masa kini. Sosok berkarakter yang mendulang prestasi dan menjadi inspirasi.

            Saatnya kini kita instropeksi, mencoba bertanya pada hati. Sejauh mana mengenali karakter diri dan sebesar apa kita sudah berkontribusi untuk bangsa ini. Sebagai kaum muda, kita ditantang untuk mengembangkan karakter. Mengenali diri, kreatif, mencetak prestasi, dan inspiratif menjadi pekerjaan rumah bersama. Pada akhirnya perlu kita renungkan, apa yang sudah-sedang-akan kita lakukan untuk bangsa ini? 

Ada Cerita di Balik Lensa

aku berjumpa dengan ragam peristiwa
pada setting waktu dan tempat yang berbeda
dan aku coba untuk mengabadikannya dengan kamera
hanya menggunakan kamera ponsel sederhana
tanpa keterampilan teknik fotografi
tanpa usaha untuk mengedit warna
tapi kalau dilihat dengan seksama
foto-foto ini sarat akan cerita

tanpa caption bukan untuk memunculkan tanya
tapi aku ingin memberikan kebebasan untuk menerka














(Bukan) Tentang Kedai Kopi

-sebuah fiksi-
Suatu senja di sudut kota, aku duduk diantara meja.
Di sebuah kedai sederhana yang menjajakan aneka minuman khas nusantara lengkap dengan desain tempat yang memanjakan mata.
Sehabis menikmati perjalanan panjang, duduk sebentar sekedar melepas lelah.
 Mata menyapu sekitar, menemukan pelayan mondar-mandir membawa pesanan pelanggan.
Banyak orang berlalu lalang.
Beberapa membawa pasangannya dan yang lain bersama teman-temannya dan hanya aku yang sendiri mengamati mereka.  
Belum sempat kutemukan jawabnya. “Pyarrr…”.

Seorang pelayan perempuan menjatuhkan satu nampan bawaanya. Berjarak satu meter di depan mataku. Memecah lamunanku. Aku lihat jelas gelas yang melayang, aliran air soda yang tumpah, dari atas ke bawah hingga menyentuh lantai. Pecahan beling berserakan, dan seketika semua mata tertuju pada titik itu. Titik di mana pelayan perempuan itu bermimik panik dan ketakutan. Dunia tidak berakhir karena kecerobohannya, tetapi rautnya jelas menunjukkan ketakutan luar biasa. Tangannya gemeteran sambil membersihkan pecahan gelas. Dari belakang dua pelayan lain menghampiri dan membantunya, walaupun itu tak mengurangi kepanikan dari raut wajahnya. Barangkali dia karyawan baru di kedai ini. Tatapan mata para  pelanggan seolah menghakimi, menurunkan reputasinya.

Di luar sana, terdengar rintik hujan jatuh di atap kedai yang berbahan asbes. Kedengarannya cukup deras.
Malam, lampu remang, keramaian, dan hujan.
Komposisi yang tepat untuk meneguk kopi hangat yang telah tersaji.
Kuhela napas dan meneguk secangkir kopi di hadapannku.
Bau kopi khas membawa mataku pada sudut lain di kedai itu.
Di dekat kasir terlihat alat-alat musik yang sedang ditata. Sepertinya itu para pemain live music di kedai ini. Keyboard, gitar, bass, dan satu orang membawa microphone.
Sesaat kemudian terdengar lantunan lagu “sempurna” Andra n the blackbone, menghangatkan suasana. Kegentingan tragedi gelas jatuh seolah tak pernah ada , hujan di luar sana pun tak terasa, alunan musik mengubah suasana. Sempurna! Aku pun berdiri menghampiri kasir, kembali berjalan dengan atmosfer baru. Di bawah rintik hujan, lalu lintas kota, dan sorot lampu beserta bayangannya.

Ini bukan tentang aku dan kedai kopi.
Kira-kira begitulah kehidupan dalam versiku.
Seperti seorang petualang yang menikmati perjalanan.
Setiap langkah adalah pelajaran.
Setiap moment adalah inspirasi.
 Tiap imaji adalah mimpi.
Dan tiap jumpa dengan seorang yang lain adalah pengalaman berharga.
Mengamati sekeliling dengan rasa penasaran, penuh prasangka, dan mencoba menerka. Hingga akhirnya menemukan satu hal baru.
Lalu kembali melangkah untuk mencari hal baru lainnya.
Bersama dengan suasana, kondisi, situasi, dan prasangka baru. Melangkah hanya melangkah dan terus melangkah.
 Satu waktu akan muncul kata mengapa dan satu waktu yang lain seolah menemukan jawabnya.
Karena langkah-langkah ini bagaikan mengapa yang senantiasa menuntut jawabnya.
 Di sela tanya, hati pun mencari hasratnya.
 Sesuatu yang menjadikan langkah semakin mantap saja.
Mencari, mencari, dan terus mencari sampai hasrat terdalam itu menjadi nyata.  

Sunday, August 10, 2014

Sermo Manjakan Mata

Sebuah catatan perjalanan singkat                                                


            Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memanglah istimewa. Mulai dari ragam budaya dan penduduk yang menghuni serta kawasan wisatanya. Berbagai pilihan wisata dapat menjadi alternatif melepas penat dari rutinitas. Sebentar saja meninggalkan tugas pekerjaan untuk memanjakan pikiran bukan hal yang sulit dilakukan oleh mereka yang tinggal di Yogyakarta. Ada ragam wisata yang ditawarkan mulai dari wisata budaya, wisata kuliner, dan yang menantang adalah wisata alamnya.  Gunung, bukit, pantai, gua, air terjun, dan masih banyak pilihan lainnya dapat ditemukan di provinsi ini. Salah satu objek wisata yang layak untuk dikunjungi yakni Waduk Sermo, Kulonprogo.
            Pagi ini (3/1/2014) perjalanan kumulai dari Kabupaten Sleman melewati riuhnya kota Jogja, hingga sampai di Kabupaten Bantul, kemudian sampailah di Kabupaten Kulonprogo. Total waktu tempuh  perjalanan kira-kira hampir dua jam dari Sleman. Untuk menuju kesana tak hanya melewati jalan aspal, tetapi juga ada akses jalan berliku serta berbatu yang sedikit menyulitkan. Oleh karena itu, sangat perlu memastikan kendaraan dalam kondisi prima. Namun, lelah perjalanan panjang menuju Waduk Sermo terbayarkan oleh indahnya pemandangan yang memanjakan mata. Bagaimana tidak?! Sawah hijau membentang sepanjang perjalanan, dekat lokasi. Cuaca cerah menyempurnakan indahnya panorama. Mata sesekali melirik pada pohon-pohon besar yang berjajar di kanan-kiri. Jalan berliku-liku makin mempertegas lokasi tempat yang dicari. Kubayangkan sedang berada di dalam bukit yang biasanya hanya aku lihat di kejauhan dari arah Barat kota Jogja.
            Setelah beberapa saat mengalami kebingungan, mengandalkan intuisi, mengikuti tanda, sampai bertanya pada orang di jalan, akhirnya plang “Waduk Sermo” terlihat jelas di depan mata.  Kendaraan masih melaju dengan kecepatan rendah, ketika terlihat hamparan air di seberang sana. Luas, arus yang tenang, dan menyejukkan. Itulah kira-kira gambaran perasaan ketika melihat Waduk Sermo. Sebuah waduk yang dikelilingi bukit-bukit. Mata begitu dimanjakan dengan penampakan air tenang, bukit-bukit, dan panorama hijau di sana. Berdiri saja menatap arus air dan rasakan hembusan anginnya, begitu menenangkan. Barangkali Waduk Sermo, tidak memiliki ombak yang bisa dimainkan seperti yang ada di pantai. Kita juga tidak bisa menemui derasnya air mengalir layaknya saat berada di bawah air terjun. Kita juga tidak bisa menemukan puncak seperti ketika mendaki gunung. Namun demikian, Waduk Sermo menawarkan panorama yang mampu memanjakan mata.
  Barangkali demikian pengalaman saya ketika melakukan perjalanan ke Waduk Sermo. Untuk teman-teman yang ingin menengok panorama wilayah Kulonprogo dan sekitarnya, sepertinya tepat memilih Waduk Sermo sebagai tujuan wisata.  Sejenak melepas rutinitas, menikmati perjalanan di alam bebas, menganguminya, serta mengucapkan syukur atas itu semua. Dan menulis catatan perjalanan lalu membagikannya kepada kawan. Mencintai alam itu begitu sederhana, semudah kita mengatakan bahagia itu sederhana. 
                                                                                                

*sebuah catatan perjalanan menuju kawasan Waduk Sermo pada 3 Januari 2014.
Mari saling berbagi catatan perjalanan singkat kita kawan. Nature guide us! ;)

Panorama Sermo terlihat hamparan air tenang dikelilingi bukit nan hijauPanorama Sermo terlihat hamparan air tenang dikelilingi bukit nan hijau
sudut lain Sermo yang diambil saat melintas jalan lingkar sepanjang 21 kmSudut lain Sermo yang diambil saat melintas jalan lingkar sepanjang 21 km

Menyapa Alam di Bukit Plawangan

“Maaf, kawasan ini sementara ditutup karena sedang dalam proses pembangunan”, kira-kira demikian kata salah satu penjaga di kawasan wisata Telaga Putri, di depan pintu masuk menuju Bukit Pronojiwo. Kalimat singkat yang memunculkan kekecewaan. Bagaimana tidak?! Sejak sekitar satu minggu lalu kami telah berencana untuk meliar-bersih sampah ke Bukit Pronojiwo, Kaliurang. Bukit dengan ketinggian sekitar 750m yang berada dikawasan Telaga Putri itu, bahkan sejak Januari telah diwacanakan menjadi next destination meliar. Sayangnya, kami berenam yang telah berkendara dari Jogja menuju Kaliurang disambut dengan kenyataan bahwa lokasi sementara tidak dibuka untuk umum. Kecewa jelas dapatterbaca pada raut wajah kita masing-masing saat mendengar hal itu. Namun,kerinduan pada alam dan tekad untuk berbuat ‘sesuatu’ tak meredupkan niat kamiuntuk tetap meliar. Setelah sejenak berpikir dan berunding, akhirnya kami sepakatuntuk mendaki bukit Plawangan sebagai alternatifnya.

Diantara kami berenam tak satupun pernah mencapai puncak Plawangan.  Seberapa jauh jarak harus ditempuh kami ketahui dari plang yang terpasang. Medannya pun hanya terbayang dalam angan-angan. Berdasarkan intuisi kami berjalan, mengikuti jejak-jejak yangtertinggal sambil menikmati panorama alam. Sesekali satu diantara kami melontarkan kekaguman ketika melihat bentangan hijau pepohonan dari ketinggian.Begitu pula denganku, kagum pada udara segar dan pesona alam Kaliurang. Matakupun menyapu seluruh pemandangan yang ada di sekitar. Hembusan angin sepoi-sepoi menyejukkan perjalanan. Patahan ranting yang tersebar bersama dengan rontokan bunga-bunga dari pepohonan mengikuti tiap langkah kami berjalan. Pada titik tertentu bertemu dengan bebatuan licin kadang pula batu-batu besar menuntut kehati-hatian dalam menapak. Suatu waktu beberapa dari kita melontarkan keluhan. Mulai karena kelelahan, kesakitan, medan yang dianggap cukup sulit, sampai padamempertanyakan sampai kapan berhenti berjalan. Beberapa kali beristirahat menjadi cara kami untuk tetap mampu bertahan dan melanjutkan. Ada pula yang dengan santainya menempuh medan Plawangan, tanpa ada rasa lelah semangatnya tetap berkobar. Semua rasa bercampur aduk dalam canda tawa ataupun keheningan selama perjalanan.

Matahari bersinar terang dan menyengat. Akhirnya Puncak Plawangan nampak di depan mata. Kelegaan tercermin dalam senyum dan tawa bahagia kami. Barangkali ketinggian Plawangan tak seberapa dibandingkan dengan Gunung Merapi ataupun Lawu, akan tetapi puncaknya tetap hanya dapat diraih dengan mendaki bukan?! Dan kepuasan tersendiri ketika dapat mencapai puncaknya, setidaknya itu menurutku pribadi.Istirahat sejenak melepas lelah, meneguk air, dan berbincang hangat serta merasakan udara di puncak teratas Plawangan (menurut kami) dan mengabadikan gambar tentunya. Lalu kami mengeluarkan bekal yang adalah kantong plastik bekas.Seperti biasanya, sambil turun kami membawa pulang sampah-sampah yang berserakan. Ada sampah plastik, tisu, kardus, dan beberapa jenis sampah lainnya yang tentu bersifat anorganik. Mengambil untuk kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang sudah siap di genggaman. Sampai penuh plastik yang kamibawa kemudian membuangnya di tempat sampah yang tersedia di bawah. Mungkininilah yang belum dilakukan beberapa dari mereka baik atas nama komunitas,organisasi, ataupun individu para pendaki Plawangan. Kesadaran untuk tidak membuang sampah dan mengambil sampah yang ada di sudut-sudut tiap jejak langkah. 

Dengan melakukan demikian, kami mencoba untuk belajar. Belajar menghargai alam sebagaimana alam juga telah melakukannya pada kita. Di balik semak masih tercecer bekas botol minuman. Di dalam tanah terpendam plastik bekas bungkus makanan ringan. Kira-kira demikian keadaan alam Plawangan yang kami jumpai. Dibalik keasrian dan keindahan panoramanya, tertinggal sisa-sisa hasil perbuatankita yang kurang bertanggung jawab. 
Itulah kami, awak JSNers yang berangkat dari latar belakang dan jam terbang yang berbeda, tetapi satu tujuan kami melakukan kegiatan bersama-sama. Dalam tiap langkah perjalanan, entah dalam pemberhentian ataupun selama perjalanan senantiasa ada mata yang mengintip dari balik lensa. Mengabadikan tiap moment yang terjadi sepanjang perjalanan. Bukan sekedar ingin mengatakan bahwa inilah kami, melainkan berusaha menularkan kesadaran untuk bersama menjaga alam kita. Karena kalau bukan kita,siapa lagi?! Nature Guide Us! :)
-Elizabeth Ranum-

*catatansebuah perjalanan menuju alam liar dan bersih sampah ke Bukit Plawangan bersama Flavi, Bintang, Sukem, Ndaru, dan Mayan pada Sabtu 23 Maret 2013.
Mendaki Plawangan (oleh: Bintang)



Wednesday, August 6, 2014

Sekolah Alam Pingit: Bersahabat dengan Lingkungan

Ada ceria dalam setiap tawa
Ada rasa ingin tahu di setiap tatapan mata
Ada solidaritas yang tercipta
Ada kerja sama satu dengan yang lainnya
Mereka anak-anak yang terlahir sederhana
mencoba untuk bersahabat dengan alam sekitarnya
dengan penuh antusias dan semangat membara
melalui kegiatan Sekolah Alam
kami belajar bersama :)

Materi Menanam

Antusiasme Anak Pingit mengikuti Materi Sekolah Alam

Belajar Bersama di Balai Terbuka

Bergandengan tangan, berjalan berputar di lapangan terbuka

Ungkapan Cinta untuk Alam

Ketika mereka berkespresi


Tuesday, August 5, 2014

Langkah

Ini tentang langkah
Semudah kita melangkah
Seberat kita melangkah
Sejauh kita mengakhiri langkah
Sedekat kita memulai langkah
Langkah mencari hasrat
Hasrat terdalam
yang mampu didengar hanya dalam kesunyian
yang mampu dilihat hanya dalam kegelapan
yang dapat disentuh hanya dengan mata terpejam

Untuk kamu yang sedang melangkah
untuk kamu, nikmatilah pemandangan
yang terbentang di tiap langkahmu

Sunday, August 3, 2014

Gagal Sunrise

Pagi buta alarm berbunyi
tepat pukul tiga pagi
bergegas ke kamar mandi
sekedar menggosok gigi
bersiap diri
menuju arah Timur provinsi
melawan rasa kantuk dan cuaca dingin
menerjang hujan gerimis
bergerak menuju candi
mengejar terbitnya mentari
yang gagal muncul pagi ini
Pemandangan Timur Candi Plaosan Lor tanpa Sunrise
Sederet Candi, Sederet Mereka Gagal Menikmati Sunrise

Saturday, August 2, 2014

Berkawan dengan Hewan

     Orang menyebut mereka kucing. Binatang berkaki empat yang biasa menjadi peliharaan. Beberapa orang membenci mereka karena alergi bulu. Ada juga yang antipati dengan sifat mereka yang manja dan bermalas-malasan. Ada juga yang memang tidak suka binatang berbulu. Ada juga yang menganggap mereka sumber penyakit. 
    Bagiku mereka adalah kawan. Mampu menghadirkan keceriaan, sekaligus kejengkelan dalam satu waktu.  Membelai bulunya menciptakan rasa senang dan bahagia. Cara mereka bermain mencairkan suasana. Rasa lelah dapat seketika sirna ketika menghabiskan waktu bersama kelucuan mereka. Matanya yang tajam menatap mengisyaratkan rasa. Tatapan tajam dapat berarti isyarat perut yang menuntut haknya.
        Rintihan suara mereka terdengar khas dan unik. Ketika masih kecil, mereka gemar bermain. Berkejar-kejaran dan berlatih menendang. Mereka rupa-rupa warnanya. ada yang coklat belang-belang, putih belang hitam, ada juga yang punya tiga warna. Dari mereka aku belajar tentang solidaritas. Ketika mereka harus berbagi makanan dalam satu tempat. Aku juga belajar tentang persaingan, ketika satu dan lainnya saling menunjukkan kejantanan. Tak jarang mereka bertengkar dan saling cakar seraya mengeluarkan suara garang. Itulah cara mereka menunjukkan kekuasaan sekaligus mencari perhatian.
      Dan yang menarik adalah cara hidup dari induk mereka, kucing betina. Dari induk kucing aku belajar tentang kasih sayang, Ketika induk kucing menyusui anak-anaknya sambil memberikan pelukan hangat aku bisa merasakan betapa beruntungnya anak-anak kucing itu. Tubuhnya yang kurus kering dan kadangkala terlihat tak berdaya tetap semangat memberikan perlindungan bagi anak-anaknya, baik dari serangan cuaca, manusia, maupun lawan jenisnya. Rasa sayangnya membuat kucing betina sering melakukan aksi arogan, dengan mencuri lauk di atas meja makan. Mereka bisa saja diam-diam masuk ke rumah siapapun, untuk mencari lauk yang bisa dimakan. dan tak jarang membuat si empunya rumah kebakaran jenggot. Tapi di balik itu semua, adalah seekor kucing betina yang sedang mengisi energi untuk dapat kembali menyusui anak-anaknya. anak-anak kucing yang masih berusia dalam hitungan hari, yang barangkali ia tinggalkan di atas atap rumah orang atau di sudut gudang gelap. Ancaman dapat datang begitu saja, mati terlindas saudaranya ataupun mati dimakan hewan yang lebih besar. Dan kalau bencana itu terjadi, si induk bisa jadi berjalan-jalan sambil mengeong terus menerus sebagai tanda kegelisahannya.
        Tingkah kucing mengajariku tentang empati dan berbagi. Sesederhana itu aku belajar dari seekor kucing. Hewan jinak yang ditakuti oleh sebagian orang dan disayangi sebagian lainnya. Barangkali tidak hanya kucing yang dapat mengajari kita tentang nilai-nilai kehidupan. Anjing, kelinci, ayam, burung, ikan, dan binatang peliharaan lainnya tentu juga memiliki cara hidup yang unik dan khas. Gaya hidup yang dapat kita ambil menjadi nilai-nilai positif bagi kehidupan. Untuk itu, barangkali perlu bagi Anda yang belum pernah memelihara binatang untuk mencobanya. Selamat berbagi dengan makhluk ciptaan lainnya.