Saturday, March 12, 2016

Hidup itu Singkat

"Aku wes nggedeke. Tenagaku tak nyohke ben anakku seneng. Aku ijik pengen ngopeni anakku. Kok disuwun Gusti. Anakkuuu....", tangis seorang ibu sesaat setelah upacara pemakaman putrinya.

Sepertinya tak akan ada satu orang pun ibu yang ingin ditinggalkan anaknya. Apalagi ditinggalkan untuk selama-lamanya dari alam dunia. Tapi apa daya, kita hanyalah manusia yang pasti akan menghadapNya entah diwaktu kapan. Melihat jerit tangis ibu tadi aku teringat akan kejadian dua tahun silam. Saat dimana aku kehilangan seorang teman, sahabat lebih tepatnya. Sama usianya denganku. Kami sedang 'getol-getol'nya mengembara. Semua hal baru kami voba, mulai dari berburu ilmu, objek wisata, kehidupan asmara, hingga kuliner nusantara. Seusiaku dimana mimpi-mimpi terukir ibdah dalam memori dan ambisi untuk mencapainya sedang meluap-luap. Seusiaku dimana banyak waktu dihabiskan bersama kawan sekedar melepas lelah ataupun bersendau gurau. Seusiaku ketika harapan-harapan orangtua menggantung tepat di depan mata kami. Pesan-pesan bapak ibu berlalu lalang di keduatelinga tentang masa depan, karir, sampai proyeksi kehidupan berumah tangga. Seolah perjalanan puluhan tahun ke depan ditentukan oleh keputusan-keputusan yang kami ambil saat ini. Seusiaku, usia 20an. Usia kritis dalam menjajal bajyak hal dan mengambil berbagai keputusan.
Namun, siapa sangka kehendak Tuhan tak demikian. Hari ini aku menyaksikan kenyataan yang tak diinginkan oleh setiap anak muda dimana pun, tak juga oleh orangtua dimana pun. Tapi ini nyata. Mereka meninggal di usia muda, usia 20an. Tuhan menghendaki akhir peziarahan mereka sampai disini, di usia 20an. Seolah mimpi-mimpi yang baru saja mereka rajut pupua sudah. Harapan orangtua atas mereka lenyap sudah. Seketika tawa canda hilang tersisa duka. Siapa yang menginginkannya? Tak ada. Seperti halnya seorang ibu yang menjerit dalam tangisnya tadi. Tangis yang ingin mengatakan ketidakrelaan hati untuk kehilangan putrinya. Tangis yang mungkin saja bentuk protes diri pada Yang Kuasa. Tangis sebagai rasa tak percaya putrinya telah tiada. Tangis dengan sedikit hatapan waktu dapat merubah kenyataan. Segala rasa bercampur rata, kehidupan seolah tak adil bagibya. Barangkali itu yang tersirat dalam benak pikirnya. Kadang kita lupa, lemahnya kita aebagai manusia. Bahkan kepada maut pun kita tak punya kuasa. Mudah menghibur debgan untaian kata 'sabar' 'tabah' dan 'istifar', tapi tentu tak demikian untuk yabg menjalaninya. Demikian juga kisah sahabatku yang tiada. Ibu bapanya tentu tak mudah untuk menerima.
Kisah tersebut memberikan gambaran nyata atas kuasaNya. Kalau Tuhan berkehendak, bisa hilang hari ini. Kalau Tuhan berkehendak, bisa terjadi hari ini. Teman-teman muda yang masih diberi kesempatan untuk berziarah di dunia ini mari bersama merenungkan peristiwa ini. Sudahkah kita mensyukuri atas setiap napas yang kita terima? Mensyukuri kesempatan untuk tetap berziarah untuk berpuluh tahun ke depan, waktu dimana tidak semua teman sebaya kita mebgalaminya. Kalau mereka tak lagi dapat meneruskan usaha, mimpi, dan cita mereka. Masihkah kita hanya berdiam diri menjadi manusia dengan hidup yang tak berarti?
Kisah singkat hidup teman-teman sebaya kita hendaknya menjadi refleksi untuk aemakin semangat mwmperjuangkan hidup. Anugerah luar biasa dariNya, ketika kita dipercaya untuk berziarah di dunia ini untuk waktu yang lebih lama. Tentu ada maksudNya yang baik. Mari kita yang masih berziarah semakin mampu berjuang, bersyukur, dan terus bersemangat dalam hidup. Karena bisa jadi hidup itu singkat.

Tuesday, March 8, 2016

Lain Ladang Lain Belalang

...dan lain lubuk lain ikannya.

Begitulah pepatah mengatakan. Artinya, setiap tempat memiliki karakternya masing-masing. Setiap tempat memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Budaya yang tumbuh di keluarga kita tentu berbeda dengan keluarga teman, tetangga, bahkan kerabat. Begitu pula halnya yang terjadi di tempat kerja. Kebiasaan yang ada di tempat kerja saat ini tidak sama dengan tempat kerja yang lama, demikian juga akan berbeda apabila kita pindah tempat kerja nantinya. Perbedaan itu juga terasa dalam lingkup waktu dimana sikap kita waktu mengenyam bangku pendidikan (sekolah dan kuliah) tidak lagi sama dengan sikap kita saat sudah bekerja. Sedikit banyak tentu ada beda. Mulai dari perbedaan gaya bertutur kata, gaya berpenampilan, sampai pola pikir dalam menghadapi perkara. Semua tercipta bergantung pada kondisi kita berada. Dimana kapan bersama siapa tentu memengaruhi perbedaan itu.
Secara lebih dalam, pepatah tersebut mengajarkan kita tentang nilai kehidupan yang penting. Nilai itu adalah kemampuan untuk beradaptasi. Sadar ataupun tidak, bersedia atau pun keberatan, kita akan senantiasa menemukan kondisi seperti dikatakan oleh pepatah. Kondisi yang tak mampu disangkal dan dihindari. Oleh karena itu, kita perlu sikap untuk dapat menghadapi kondisi demikian, salah satunya dengan mengasah kemampuan untuk beradaptasi. Seseorang yang adaptif akan lebih mampu menghadapi situasi yang dinamis. Dimana pun ia berada senantiasa mampu menyesuaikan diri sesuai kondisi dan tempatnya. Manfaatnya pun dapat terasa, seperti mudah diterima oleh lingkungan, nyaman dalam beraktivitas, dan tentu terhindari dari kecemasan sosial. Orang-orang demikian cenderung mampu menghadapi situasi yang dinamis dan siap menghadapi perubahan sewaktu-waktu. Sayangnya tidak semua orang memiliki kemampuan adaptasi yang baik.
Bagi mereka yang kemampuan adaptasinya cenderung rendah, tentu kesulitan dalam menghadapi perubahan. Jangankan pindah tempat kerja, bahkan hanya pindah divisi saja sudah menjadi momok yang luar biasa. Kecenderungan mereka yang sulit beradaptasi terbelunggu oleh ketakutan-ketakutan dalam diri yang kadangkala tidak beralasan jelas.
Saat ini, dengan adanya globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi kita dituntut untuk semakin memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Kemampuan untuk menerima hal baru, inovasi baru yang tentu bermanfaat untuk perkembangan diri maupun lingkungan. Rendahya kemampuan beradaptasi dapat mengakibatkan ketertinggalan. Pernah kita simak dalam media cetak, media elektronik, maupun situs-situs berita menyiarkan tentang industri, perusahan, institusi pendidikan, maupun industri rumah tangga yang mengalami penurunan kualitas bahkan sampai gulung tikar sebagai dampak terburuknya. Dari sekian banyak penyebab, berdasar pengamatan saya, kemampuan beradaptasi dan menciptakan inovasi menjadi salah satu faktor penentunya. Globalisasi seolah-olah menuntut setiap pihak memiliki kemampuan beradaptasi. Melihat fenomena-fenomena yang terjadi, penting  kita memiķi sikap adaptif.
Namun, sikap adaptif seharusnya diimbangi dengan kepemilikam karakter dan prinsip yang kuat. Dalam konteks ini, karakter dan prinsip mengacu pada tujuan baik yang dipupuk dalam diri. Mengapa? Kecenderungan kemampuan adaptif yang tinggi diikuti dengan fleksibilitas tinggi pula sehingga berpotensi untuk mengikuti arus kebanyakan. Celakanya apabila arus kebanyakan justru bertentangan dengan nilai-nilai moral. Oleh karena itu perlu seseorang yang adaptif memiliki karakter yang kuat. Biar bagaimana pun juga adaptasi yang baik ketika menyesuaikan diri pada lingkungan yang baik, untuk tujuan baik, memperbaiki diri, dengan harapan beroleh hasil yang lebih baik.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Pepatah sederhana yang telah diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Pepatah singkat yang mengandung nilai kehidupan. Pepatah yang mengajarkan kita sebagai insan yang hidup dalam kedinamisan, perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Namun tak boleh diabaikan bahwa adaptif bukan berarti mengikuti apapun di tempat kita berada lantas mengikuti arus kemudian mengabaikan nilai dan tujuan hidup yang lebih baik. Adaptif sebaiknya menjadi sikap pendukung dalam mencapai tujuan hidup. Maka, mari kita sebagai insan muda harapan bangsa semakin mampu beradaptasi menghadapi situasi global saag ini. Tantangan besar bagi kita, termasuk saya, di usia krisis seperempat abad, dalam mengasah kemampuan beradaptasi. Kemampuan penting yang perlu dimiliki sebagai bekal menghadapi dinamisnya situasi global.

#opini seorang insan muda yang sedang belajar beradaptasi di tengah globalisasi#

Friday, March 4, 2016

Memberi dari Kekurangan dan Menerima atas Kekurangan

Memberi adalah perbuatan terpuji. Demikian sejak kecil orangtua, guru, dan ajaran agama menanamkannya. Ajakan untuk saling memberi satu sama lain barangkali lekat dalam ingatan. Bahkan memberi dari kekurangan kita menjadi satu anjuran yang dianggap bernilai. Kita pun sebagai manusia sosial dan beriman sadar ataupun tak sadar berusaha menerapkan prinsip 'memberi dari kekurangan'. Memberi sebagian dari milik kita untuk sesama tidak akan mengurangi kepemilikan kita, bahkan akan ditambahkan pada kita. Begitu orang beriman memercayainya. Alih-alih kehabisan, memberi justru menuai banyak manfaat. Mulai dari manfaat psikis, sosial, sampai spiritual. Ada banyak macam memberi, seperti memberi ilmu, memberi sedekah, memberi nasihat, memberi kesempatan, memberi cinta dan kasih sayang. Sebagian kita berusaha untuk dapat memberi, bahkan dari kekurangan kita.
Memberi menjadi satu sikap yang perlu dimiliki oleh setiap insan. Namun, terkadang kita terlalu fokus pada perintah atau ajaran untuk saling memberi. Kita lupa ada ajaran lain yang seolah-olah bertentangan, yaitu kesediaan untuk menerima. Sejak kecil tertanam dalam pikiran kita untuk sedia memberi, tidak hanya menerima. Namun kadang kita lupa bahwa kemampuan menerima pun perlu diasah sebagaimana kita mengasah kemampuan untuk memberi. Apabila kita berusaha memberi bahkan dari kekurangan, pernahkah ada usaha untuk mampu menerima walaupun atas kekurangan diri kita maupun sesama?
Iya atau tidak? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Dengan mudah kita menguasahakan ajaran untuk memberi dari kekurangan, tetapi tidak mudah bersedia menerima atas kekurangan. Benarkah? Pernahkah kita mengeluh atas apa yang tidak kita miliki? Pernahkah kita malu atas kondisi diri kita? Pernahkah kita protes atas keadaan keluarga termasuk ayah, ibu, dan saudara? Pernahkah kita menjauhi teman karna satu hal; buruk rupakah, malaskah, miskinkah, pendiamkah? Pernahkah kita protes atas sifat pasangan kita? Kalo jawabannya adalah pernah, perlu kita kembali bertanya "masihkah?". Apabila iya, barangkali memang lebih mudah memberi dari kekurangan daripada menerima atas kekurangan.
Memberi memang terpuji, tetapi menerima juga seharusnya menjadi sikap yang perlu dimiliki. Alangkah indahnya apabila kita dapat memupuk kedua sikap itu, tidak hanya salah satunya.
Mari kawan kita buka pintu mata, pintu hati dan pintu pikiran. Walaupun ajaran untuk memberi lebih 'getol' ditanamkan, tetapi kita tidak boleh melupakan ajaran untuk menerima. Dengan demikian kita senantiasa memelihara sikap untuk memberi dari kekurangan dan menerima atas kekurangan.

Thursday, March 3, 2016

Bahaya Prasangka

Pernah mendengar kata prasangka? Atau mungkin pernah berprasangka? Atau bahkan mengalami prasangka orang lain?

Prasangka dekat pula dengan istilah dugaan. Satu kata yang tentu tidak asing di telinga. Beberapa istilah dan kalimat pun terangkai bersama kata prasangka. "Prasangka baik." "Jangan berprasangka buruk!" "Ah itu cuma prasangkamu saja." Dan masih ada yang dapat menyebutkan kalimat lain?
Namun bukan itu poin pokok yang menggelitik untuk diperbincangkan. Bukan kata, maupun pemakaiannya dalam kalimat. Melainkan aktivitas kita, sebagai bagian dari lingkungan dalam berprasangka tentang orang lain dalam lingkunan kita. Prasangka yang terucap tentu tak lepas dari efek. seringkali kita berprasangka tentang orang lain. Kita sangka pria yang berbrewok tebal itu ringan tangan. Kita sangka tingkah wanita manja itu tidak normal. Kita sangka rekan kerja yang banyak bicara itu licik. Kita sangka orangtua kita egois karna telah melarang perbuatan kita. Kita banyak berprasangka. Barangkali dalam satu hati saja brp kali kita berprasangka.
Celakanya prasangka bukanlah fakta. Celakanya prasangka tak dilanjutkan dengan verifikasi dan konfirmasi ke pihak yang bersangkutan. Celakanya prasangka memengaruhi perlakuan dan reaksi kita terhadap orang lain. Lebih celaka lagi kalo prasangka dianggap benar, kemudian dengan penuh percaya diri berusaha menyebarkan prasangka ke sekitar. Barangkali itu hanyalah bentuk permintan diri untuk mendapatkan penguatan atau pemantalan atas asumsi pribadi. Bangga rasanya ketika prasangka yang merupakan asumsi pribadi mendapat persetujuan dari banyak orang. Semakin yakin prasangka tak lain adalah fakta. opini publik pun terbentuk atas dasar prasangka. Keputusan diri pun terbentuk. Celakanya kalau prasangka itu tentang keburukan orang lain, kemudian menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Reaksi menjauhi, membenci, menghujat, menghakimi, tidak percaya lagi, hingga reaksi untuk meniadakan. Luar biasa sekali potensi reaksi yang tercipta dari sebuah prasangka.
Bagaimana jika itu terjadi di lingkungan kerja? Akibat prasangka dari seseorang, karir orang lain dapat terancam. Prasangka dari seseorang dapat melemahkan bahkan mematikan karir yang bersangkutan. Berawal dari prasangka yang dikoar-koarkan kemudian membentuk opini publik atas diri seseorang, dapat berakibat fatal. Pernahkah mengalaminya?
Fenomena berprasangka sering ada di kehidupan kita. Dalam lingkungan kerja, lingkungan sekolah, bertetangga, bahkan keluarga. Menyadari fatal efek dari sebuah prasangka, bijak kiranya kita mengolah prasangka. Prasangka buruk atas diri orang lain dapat menjadi senjata tajam yang mematikan. Hati-hati dalam berpikir, bertutur, dan berperilaku. Barangkali apa yang kita pikirkan, tuturkan, dan lakukan hanyalah prasangka yang belum terbukti kebenarannya. Berprasangka itu berbahaya, jadi berhati-hatilah terhadapnya. :)