"Aku wes nggedeke. Tenagaku tak nyohke ben anakku seneng. Aku ijik pengen ngopeni anakku. Kok disuwun Gusti. Anakkuuu....", tangis seorang ibu sesaat setelah upacara pemakaman putrinya.
Sepertinya tak akan ada satu orang pun ibu yang ingin ditinggalkan anaknya. Apalagi ditinggalkan untuk selama-lamanya dari alam dunia. Tapi apa daya, kita hanyalah manusia yang pasti akan menghadapNya entah diwaktu kapan. Melihat jerit tangis ibu tadi aku teringat akan kejadian dua tahun silam. Saat dimana aku kehilangan seorang teman, sahabat lebih tepatnya. Sama usianya denganku. Kami sedang 'getol-getol'nya mengembara. Semua hal baru kami voba, mulai dari berburu ilmu, objek wisata, kehidupan asmara, hingga kuliner nusantara. Seusiaku dimana mimpi-mimpi terukir ibdah dalam memori dan ambisi untuk mencapainya sedang meluap-luap. Seusiaku dimana banyak waktu dihabiskan bersama kawan sekedar melepas lelah ataupun bersendau gurau. Seusiaku ketika harapan-harapan orangtua menggantung tepat di depan mata kami. Pesan-pesan bapak ibu berlalu lalang di keduatelinga tentang masa depan, karir, sampai proyeksi kehidupan berumah tangga. Seolah perjalanan puluhan tahun ke depan ditentukan oleh keputusan-keputusan yang kami ambil saat ini. Seusiaku, usia 20an. Usia kritis dalam menjajal bajyak hal dan mengambil berbagai keputusan.
Namun, siapa sangka kehendak Tuhan tak demikian. Hari ini aku menyaksikan kenyataan yang tak diinginkan oleh setiap anak muda dimana pun, tak juga oleh orangtua dimana pun. Tapi ini nyata. Mereka meninggal di usia muda, usia 20an. Tuhan menghendaki akhir peziarahan mereka sampai disini, di usia 20an. Seolah mimpi-mimpi yang baru saja mereka rajut pupua sudah. Harapan orangtua atas mereka lenyap sudah. Seketika tawa canda hilang tersisa duka. Siapa yang menginginkannya? Tak ada. Seperti halnya seorang ibu yang menjerit dalam tangisnya tadi. Tangis yang ingin mengatakan ketidakrelaan hati untuk kehilangan putrinya. Tangis yang mungkin saja bentuk protes diri pada Yang Kuasa. Tangis sebagai rasa tak percaya putrinya telah tiada. Tangis dengan sedikit hatapan waktu dapat merubah kenyataan. Segala rasa bercampur rata, kehidupan seolah tak adil bagibya. Barangkali itu yang tersirat dalam benak pikirnya. Kadang kita lupa, lemahnya kita aebagai manusia. Bahkan kepada maut pun kita tak punya kuasa. Mudah menghibur debgan untaian kata 'sabar' 'tabah' dan 'istifar', tapi tentu tak demikian untuk yabg menjalaninya. Demikian juga kisah sahabatku yang tiada. Ibu bapanya tentu tak mudah untuk menerima.
Kisah tersebut memberikan gambaran nyata atas kuasaNya. Kalau Tuhan berkehendak, bisa hilang hari ini. Kalau Tuhan berkehendak, bisa terjadi hari ini. Teman-teman muda yang masih diberi kesempatan untuk berziarah di dunia ini mari bersama merenungkan peristiwa ini. Sudahkah kita mensyukuri atas setiap napas yang kita terima? Mensyukuri kesempatan untuk tetap berziarah untuk berpuluh tahun ke depan, waktu dimana tidak semua teman sebaya kita mebgalaminya. Kalau mereka tak lagi dapat meneruskan usaha, mimpi, dan cita mereka. Masihkah kita hanya berdiam diri menjadi manusia dengan hidup yang tak berarti?
Kisah singkat hidup teman-teman sebaya kita hendaknya menjadi refleksi untuk aemakin semangat mwmperjuangkan hidup. Anugerah luar biasa dariNya, ketika kita dipercaya untuk berziarah di dunia ini untuk waktu yang lebih lama. Tentu ada maksudNya yang baik. Mari kita yang masih berziarah semakin mampu berjuang, bersyukur, dan terus bersemangat dalam hidup. Karena bisa jadi hidup itu singkat.