Friday, November 4, 2016

We are Selow Community

We are SELOW community. Komunitas lokal Kudus yang berawal dari menyadari adanya kebutuhan untuk makan dan bersosialisasi. beranggotakan para pekerja Kudus baik asli maupun pendatang dari kota lainnya. Setiap hari Selasa, kami makan bersama dari satu tempat ke tempat lain. Kami mengeksplore kuliner kuliner yang ada di kota Kretek, Kudus. Berbagai menu di berbagai tempat telah menjadi sasaran Selow. aktivitasnya hanya berkumpul dan makan, tetapi juga saling berbagi informasi. Sebagai pekerja muda Kudus, kegiatan ini menjadi kebutuhan. Anggotanya terbuka untuk umum walaupun sementara ini hanya berisi orang itu-itu saja. Biar demikian tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap rutin kopdar setiap hari Selasa.

Besar harapan kami, para Selowers, untuk membangun jaringan informasi antar pekerja muda Kudus. Selain ada tujuan kami memerkenalkan keanekaragaman kuliner Kudus dan tentu menjadi wadah untuk saling bertukar pikiran dan informasi. Gambar-gambar berikut diambil dari berbagai sumber kamera. Yang jelas menggunakan kamera HP yang ala kadarnya. Bukan hasil potret, tapi cerita di balik lensa. 

Di setiap hasil jepretan ada kisah terukir. Ke depan Selow community berharap tidak hanya menjadi komunitas yang terkesan 'hura-hura', maka kami pun mulai berpikir untuk dapat berbagi dengan sesama. Karna dalam sepiring makanan yang tersaji senantiasa ada syukur yang kami panjatkan. Biar syukur itu dapat terwujud nyata melalui kegiatan berbagi dengan sesama. Rencananya akhir tahun 2016 atau di Bulan Desember, teman-teman Selow akan mengadakan aksi kasih dengan berbagi nasi bagi saudara-saudara kita.

Satu moment Selow di Paparon 
Santap wedang hangat di mak moyong
Mencicip cafe premium @Fresto cafe
Malam dingin minum susu hangat nasinkering @takashimura
Huahh Rasa pedasnya mi level gang 1
Ada mi bandung, martabak manis juga
Segala macam nasi kering dan lauk pauk @gang4
Malam turakatan 17an @GentongSehat
Mi ayam bakso tetelan paling ngehits
Pertemuan pertama di entjog ungkep

Sunday, September 11, 2016

Setia pada Perkara Kecil

Barangkali masalah yang ada pada diri kita itu hanya sesederhana ketidaksetiaan kita pada perkara kecil.
Kekhawatiran sering kita anggap satu sikap manusiawi. Kekhawatiran masih sering mendapat toleransi. Padahal di balik kekhawatiran ada ketidakpercayaan pada Sang Empunya. Karna ketika kita percaya sepenuhnya, niscaya kekhawatiran kan sirna.
Seorang anak paruh baya mencoba untuk menelaah kalimat tersebut. Dia adalah anak yang tumbuh dalam rasa ketakutan dan rasa kekhawatiran akan segala sesuatu. Ketika balita dia mengalami ketakutan luar biasa setiap kali melakukan kesalahan. Sifat keras sang ayah menjadi satu sebab ketakutannya. Bagaimna tidak. Setiap kali dia melakukan kesalahan atau apapun yang tak berkenan, amarah terlontar dari mulut ayahnya. Kalimat-kalimat kasar dengan nada keras menjadi memori yang tak terlupakan olehnya. Dia tidak tahu apa itu belajar. Dia hanya tahu tentang berbuat benar dan salah. Ketakutan akan melakukan perbuatan salah terpelihara hingga paruh baya. Bahkan dalam kehidupan sosialnya di sekolah maupun teman sepermainan, si anak ini senantiasa memendam rasa takut setiap kali mau mencoba hal baru. Takut salah, demikian katanya. Tak hanya rasa ketakutan yang senantiasa menghantui, namun juga rasa khawatir. Khawatir akan masa depan, khawatir akan perubahan-perubahan yang akan terjadi. Dia tidak mampu merasakan dengan penuh arti kenikmatan hari ini. Dia tak mampu merasakan kepuasan mendalam atas setiap pencapaiannya. Selama bertumbuh menjadi usia dewasa, dia hidup dalam rasa takut dan khawatir. Walaupum doa senantiasa di panjatkan, tak membuatnya kehilangan rasa cemas dan khawatir akan sesuatu hal. Dari luar orang melihat hidupnya begitu mulus dengan pencapaian yang dia alami. Pencapaian atas prestasi akademik maupun tingkah laku baiknya dalam pergaulan. Namun dalam diri anak ini tak mampu merasakannya. Dia terus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Sampai sekarang dan masih berlanjut, entah sampai kapan.

Ilustrasi di atas barangkali terjadi dalam diri kita yang sedang membaca. Atau setidaknya barangkali masih banyak anak-anak di luar sana yang masih berkutat dalam perkara kecilnya, mengalahkan kekhawatiran berlebih. Kekhawatiran yang berlebihan menyebabkan terhambatnya kreativitas. Berkutat dengan kekhawatiran dan seringkali melewatkan kesempatan emas ubtuk lebih berkembang. Melawan kekhawatiran butuh belajar, terlebih bagi mereka yang pernah mengalami kepahitan dengan masa lalunya. Anak-anak yang terdidik untuk mengkhawatirkan kehidupannya memiliki tantangan lebih besar untuk menaklukan diri. Segala sesuatunya adalah tentang proses. Selama kita mencoba dan berusaha, niscaya semua kan indah pada waktuNya. Mari kita lawan kekhawatiran. Percaya padaNya bahwa Dia memeluk kekhawatiran kita dan memberikan janji setiaNya.

Saturday, May 7, 2016

Kemana pun...

Kemana pun arus membawa, baiknya berlabuh disana.
Entah itu ladang tandus, gersang, maupun di padang rumput hijau atau pun ladang emas.
Kemana pun angin membawa, biarlah hinggap disana.
Tanpa harap, tanpa ragu penuhbkeyakinan dan niatan bahwa Angin dan Arus akan membawa ke tempat yang tepat.
Dimana pun nanti, setia bertekun melayani, menyalurkan talenta, dan mengembangkannya.
Dimana pun nanti, berusaha berdiribtegak penuhbpercaya diri.
Semesta mendukung, dimana pun nanti bisa melampaui, berbagi seraya memulihkan energi.
Hingga saatnya tiba nanti , jiwa raga cukup kuat untuk terbang sesuai nurani, melawan arus deras dan angin kencang, pasti kan mampu lakoni.
Tetapi untuk saat ini, arus terlalu kuat untuk dilawan.
Anginnya terlampau kencang untuk diterjang.
Belum cukup kuat raga melawan dan menerjang.
Hanya mampu berjalan kemana atus dan angin membawa.
Berserah, meyakini bisa.
Walaupun sejuta orang di luar sana mengatakan "Jangan!", "Sayang.."

Saturday, March 12, 2016

Hidup itu Singkat

"Aku wes nggedeke. Tenagaku tak nyohke ben anakku seneng. Aku ijik pengen ngopeni anakku. Kok disuwun Gusti. Anakkuuu....", tangis seorang ibu sesaat setelah upacara pemakaman putrinya.

Sepertinya tak akan ada satu orang pun ibu yang ingin ditinggalkan anaknya. Apalagi ditinggalkan untuk selama-lamanya dari alam dunia. Tapi apa daya, kita hanyalah manusia yang pasti akan menghadapNya entah diwaktu kapan. Melihat jerit tangis ibu tadi aku teringat akan kejadian dua tahun silam. Saat dimana aku kehilangan seorang teman, sahabat lebih tepatnya. Sama usianya denganku. Kami sedang 'getol-getol'nya mengembara. Semua hal baru kami voba, mulai dari berburu ilmu, objek wisata, kehidupan asmara, hingga kuliner nusantara. Seusiaku dimana mimpi-mimpi terukir ibdah dalam memori dan ambisi untuk mencapainya sedang meluap-luap. Seusiaku dimana banyak waktu dihabiskan bersama kawan sekedar melepas lelah ataupun bersendau gurau. Seusiaku ketika harapan-harapan orangtua menggantung tepat di depan mata kami. Pesan-pesan bapak ibu berlalu lalang di keduatelinga tentang masa depan, karir, sampai proyeksi kehidupan berumah tangga. Seolah perjalanan puluhan tahun ke depan ditentukan oleh keputusan-keputusan yang kami ambil saat ini. Seusiaku, usia 20an. Usia kritis dalam menjajal bajyak hal dan mengambil berbagai keputusan.
Namun, siapa sangka kehendak Tuhan tak demikian. Hari ini aku menyaksikan kenyataan yang tak diinginkan oleh setiap anak muda dimana pun, tak juga oleh orangtua dimana pun. Tapi ini nyata. Mereka meninggal di usia muda, usia 20an. Tuhan menghendaki akhir peziarahan mereka sampai disini, di usia 20an. Seolah mimpi-mimpi yang baru saja mereka rajut pupua sudah. Harapan orangtua atas mereka lenyap sudah. Seketika tawa canda hilang tersisa duka. Siapa yang menginginkannya? Tak ada. Seperti halnya seorang ibu yang menjerit dalam tangisnya tadi. Tangis yang ingin mengatakan ketidakrelaan hati untuk kehilangan putrinya. Tangis yang mungkin saja bentuk protes diri pada Yang Kuasa. Tangis sebagai rasa tak percaya putrinya telah tiada. Tangis dengan sedikit hatapan waktu dapat merubah kenyataan. Segala rasa bercampur rata, kehidupan seolah tak adil bagibya. Barangkali itu yang tersirat dalam benak pikirnya. Kadang kita lupa, lemahnya kita aebagai manusia. Bahkan kepada maut pun kita tak punya kuasa. Mudah menghibur debgan untaian kata 'sabar' 'tabah' dan 'istifar', tapi tentu tak demikian untuk yabg menjalaninya. Demikian juga kisah sahabatku yang tiada. Ibu bapanya tentu tak mudah untuk menerima.
Kisah tersebut memberikan gambaran nyata atas kuasaNya. Kalau Tuhan berkehendak, bisa hilang hari ini. Kalau Tuhan berkehendak, bisa terjadi hari ini. Teman-teman muda yang masih diberi kesempatan untuk berziarah di dunia ini mari bersama merenungkan peristiwa ini. Sudahkah kita mensyukuri atas setiap napas yang kita terima? Mensyukuri kesempatan untuk tetap berziarah untuk berpuluh tahun ke depan, waktu dimana tidak semua teman sebaya kita mebgalaminya. Kalau mereka tak lagi dapat meneruskan usaha, mimpi, dan cita mereka. Masihkah kita hanya berdiam diri menjadi manusia dengan hidup yang tak berarti?
Kisah singkat hidup teman-teman sebaya kita hendaknya menjadi refleksi untuk aemakin semangat mwmperjuangkan hidup. Anugerah luar biasa dariNya, ketika kita dipercaya untuk berziarah di dunia ini untuk waktu yang lebih lama. Tentu ada maksudNya yang baik. Mari kita yang masih berziarah semakin mampu berjuang, bersyukur, dan terus bersemangat dalam hidup. Karena bisa jadi hidup itu singkat.